Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono menginginkan pemerintah mewaspadai manajemen "dwelling time" (waktu bongkar muat) agar barang ilegal tidak sampai masuk ke pasar dalam negeri.

"Barang-barang ilegal kini banyak masuk ke pasar nasional akibat tak terkendalinya manajemen dwelling time barang di pelabuhan internasional di seluruh Indonesia. Dwelling time yang diperketat oleh pemerintah pusat ternyata jadi sumber masalah maraknya barang ilegal," kata Bambang Haryo Soekartono dalam keterangan tertulis, Sabtu.

Menurut politisi Partai Gerindra itu, selama ini penyelundupan barang selalu dikambinghitamkan oleh pemerintah, padahal ia berpendapat bahwa "dwelling time" sumber masalahnya.

Mestinya, lanjutnya, "dwelling time" dibiarkan saja bekerja sesuai alurnya, tanpa harus diperketat karena akibat pengetatan tersebut dinilai membuat para petugas pelabuhan juga bekerja terburu-buru.

"Pemerintah meminta dwelling time diperpendek. Padahal, dweeling time menjadi agak lama, akibat banyaknya pengiriman barang impor yang tidak disertai oleh dokumen yang benar, sehingga ditempatkan pada posisi zona kuning dan merah," katanya.

Dia mengemukakan hal itu membuat petugas di pelabuhan internasional menjadi takut untuk mencegah barang-barang itu lama berada di pelabuhan.

Selain persoalan dwelling time, ujar dia, masalah lain yang jadi sumber masalah juga adalah banyaknya pelabuhan internasional di Tanah Air, yaitu 141 pelabuhan.

"Pelabuhannya menggunakan kata internasional, namun petugasnya tak memenuhi syarat kualifikasi, bahkan kekurangan petugas. Kondisi pelabuhan internasional yang banyak dan tidak terjaga itulah, menjadi pintu masuk barang-barang impor ilegal. Padahal, pelabuhan internasional tak perlu banyak di satu negara," katanya.

Bambang memaparkan, di Amerika Serikat pelabuhan internasionalnya hanya lima, begitu pula di Kanada, dan Uni Eropa yang memiliki banyak negara hanya memiliki tujuh pelabuhan internasional.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016