Tokyo (ANTARA News) - Kekuatan ekonomi Asia Timur saat ini menunjukkan terjadinya ketidaksetaraan pendapatan sebagai akibat kebijakan mereka yang mempromosikan untuk bergabung dengan perekonomian dunia semenjak krisis finansial 10 tahun lalu, demikian Ekonom Utama Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur memperingatkan. Kecepatan pertumbuhan, penurunan kemiskinan dan pengenalan teknologi madya menjadikan kawasan tersebut harus lebih menarik dan kuat dalam finansial dibandingkan dengan sebelum mengalami krisis ekonomi yang menimpa Asia pada 1997, ujar Milan Brahmbhatt, ekonomom Bank Dunia, kepada Kyodo, Kamis. Namun demikian, dia juga menyatakan bahwa teknologi juga cenderung meningkatkan penghasilan masyarakat yang memiliki keahlian dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai ketrampilan. Dia menyebutkan China merupakan negara yang menunjukkan kecenderungan kesenjangan pendapatan tersebut. Hal itu terlihat pada pembangunan antara kota dengan pedesaan. Kesenjangan pembangunan antara kedua kawasan merupakan faktor utama pemacu kesenjangan pendapatan yang sangat tajam dalam pembangunan ekonomi dunia. Kekuatan ekonomi di kawasan Asia itu, termasuk di Korea Selatan, Malaysia, Thailand dan Taiwan, diantara beberapa negara lainnya. Brahmbhatt yang mengunjungi Jepang untuk menyampaikan laporan tengah tahunan Bank Dunia mengenai Kawasan Asia Pasifik yang diluncurkan Selasa lalu. "Apa yang kita lihat akhir-akhir ini adalah adanya pertumbuhan dalam 10 tahun terakhir," katanya, mengenai pertumbuhan Asia Timur sejak krisis moneter. Pendapatan yang diperoleh kawasan tersebut meningkat dua kali menjadi 5 triliun dolar AS, lebih tinggi 10 persen dari produk domestik bruto, sementara kemuskinan juga menurun. Sebelum krisis, separuh dari penduduknya memperoleh pendapatan kurang dari 2 dolar AS per hari. Sekarang tingkatan itu telah menurun menjadi 30 persen. "Semua itu bisa diraih dalam waktu yang bersamaan setelah Asia Timur melanjutkan integrasi dengan kekuatan ekonomi dunia," katanya. Ketika krisis, menurut Brahmbhatt, perekonomian kawasan tersebut menghadapi hal yang mengerikan, likuiditas menghilang karena mereka tidak memiliki aset jangka pendek yang bisa dimanfaatkan untuk menutup nilai mata uang asing yang mendominasi utang perusahaan dan lembaga keuangan mereka negera-negara pemberi pinjaman tidak bersedia menalangi utang tersebut. Dia menyatakan bahwa negara-negera kawasan Asia Timur harus menyusun investasi yang terkontrol oleh pemerintah dan membersihkan cadangan kekayaan dari utang ataupun melakukan investasi pada aset untuk mengembalikan pembangunan infrastruktur maupun tujuan sosial. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007