Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum, H. Amin Aryoso SH, berpendapat bahwa saat ini terjadi krisis konstitusi yang perkembangannya sudah sangat mengkhawatirkan, sehingga pihak-pihak yang bertanggungjawab perlu turun tangan untuk mengatasi krisis ini. "Jika tidak cepat ditangani, krisis ini akan menjalar kepada bidang-bidang lain, yang pada akhirnya sangat merugikan rakyat, karena hukum dibuat tidak lagi untuk kepentingan rakyat tapi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang mempunyai kekuatan uang," kata mantan Ketua Komisi II DPR itu di Jakarta, Jumat. Ketua Yayasan Kepada Bangsaku tersebut berpendapat, krisis konstitusi antara lain disebabkan oleh batang tubuh UUD 1945 yang sudah diamendemen bertentangan dengan pembukaan konstitusi itu sendiri, sehingga berdampak kabinet presidensil bertentangan dengan sistem parlementer di DPR. Akibatnya, kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan dalam kabinet presidensil, seperti sangat dibatasi atau dikurangi. "Ini jelas merugikan pemerintah, karena akibatnya jelas, pemerintah tidak mempunyai posisi yang kuat, padahal Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau, perlu dikelola dengan kuat, sehingga posisi ini jelas mengganggu pemerintah," ujarnya. Kelemahan dari konstitusi yang mengalami beberapa kali amendemen ini, adalah tidak adanya GBHN. "Sehingga, kita tidak mempunyai program dan sasaran yang jelas pada jangka waktu tertentu ke depan. Padahal, amendemen adalah tuntutan reformasi, yang ternyata palsu," kata Amin. Krisis konstitusi, menurut dia, juga ditandai pertentangan antar-lembaga di yudikatif, misalnya antara Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Konstitusi (MK), serta antara lembaga legislatif dan eksekutif/presiden. Akibatnya, ia menilai, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh DPR maupun Presiden, bisa diganggu oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, banyak badan independen yang kekuasaannya dikurangi. Berdasarkan UUD 1945, penyusunan undang-undang adalah wewenang DPR, bukan presiden. Presiden hanya menandatangani undang-undang itu untuk disahkan dan diundangkan. Sekarang yang dipertanyakan, menurut Amin, siapa pelaksananya, DPR atau pemerintah/presiden. Amin menyatakan prihatin bahwa proses penyusunan undang-undang dan pelaksanaannya kini semakin amburadul, antara lain banyak undang-undang yang diciptakan tidak menguntungkan rakyat banyak, melainkan menguntungkan orang-orang tertentu yang mengeluarkan biaya untuk proses pembuatan undang-undang itu, seperti lazimnya kaum kapitalis. Ketika ditanya, siapa yang bertanggungjawab atas krisis ini, apakah legislatif, yudikatif atau eksekutif, Amin Aryoso menegaskan bahwa hal itu adalah tanggungjawab presiden sebagai eksekutif. Dalam posisinya yang kuat, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka presiden harus memikirkan hal ini. "Aneh presiden tidak berbuat sesuatu untuk menyelamatkan krisis konstitusi," demikian Amin Aryoso. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007