Kupang (ANTARA News) - Figur Xanana Gusmao sebagai tokoh pejuang pergerakan kemerdekaan Timor Timur (sekarang Timor Leste) telah memberi warna bagi rakyatnya setelah 23 tahun bersama Indonesia. Menyebut Timor Leste selalu akan terbayang dengan sosok dan figur serta ketokohan Xanana Gusmao, dan menyebut Xanana tidak bisa lepas dari negeri yang baru merdeka pada 2002 setelah jajak pendapat pada 30 Agustus 1999. Selama dua tahun berada dalam masa transisi kepemimpinan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hanya figur Xanana yang diinginkan rakyatnya untuk menjadi presiden, dan Xanana pun akhirnya terpilih menjadi Presiden Timor Leste pada Mei 2002, ketika negeri itu memproklamirkan kemerdekaan. Selama lima tahun kepemimpinannya, Xanana mengakui bahwa ia tidak bisa berbuat banyak kepada rakyatnya karena sistem pemerintahan dan pembangunan di negara itu dikendalikan oleh Perdana Menteri. "Rakyat Timor Leste justru kecewa karena perbaikan ekonomi di negara selama lima tahun pemerintahan berjalan tak kunjung terwujud. Rakyat sudah jemu menunggu..., menunggu sesuatu yang baik," kata Xanana di Dili beberapa saat menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) yang berlangsung Senin (9/4). Bekas narapidana politik semasa Timtim masih menjadi bagian dari NKRI itu mengatakan, "Kami menjanjikan pekerjaan dan pembukaan lapangan kerja bagi rakyat, namun mereka (rakyat) tidak melihat secercah sinar terang di ujung lorong gelap". "Uang sebesar 1 milyar dolar AS yang diperoleh Timor Leste dari minyak seharusnya digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan, bukan disimpan di sebuah bank di AS. Uang itu malah disimpan di sebuah bank di New York ketika rakyat menderita," katanya dalam nada kesal. Menurut Xanana, pemerintah akan disalahkan oleh rakyat berkaitan dengan situasi sulit yang terjadi saat ini, dan apa pun alasannya pemerintah tetap dianggap gagal memberi arah yang jelas bagi upaya peningkatan kesejahteraan rakyatnya. "Tentu saja, kita terbiasa membuat pembenaran atas kurangnya kapabilitas (pemerintah) dengan mengatakan bahwa kita punya masalah sumber daya manusia, kita punya masalah keuangan. Tetapi yang saya lihat adalah kita tidak punya sesuatu yang membuat yakin bahwa kita sedang bergerak ke arah yang benar," tutur Xanana. Kini, Timor Leste telah memasuki suatu fase baru dalam tatanan politik dan pemerintahan dengan menyelenggarakan pemilu presiden yang dimulai Senin (9/4). Sekitar 800.000 penduduk Timor Leste menggunakan hak politiknya dalam pemilu tersebut untuk memilih presiden pengganti Xanana. Xanana Gusmao sejak awal menyatakan keengganannya untuk berlaga dalam pemilu kepresidenan saat ini karena posisinya sebagai Presiden Timor Leste selama lima tahun berlangsung, praktis tidak memberikan sesuatu yang berarti bagi rakyatnya. Sumber-sumber resmi menyebutkan, para pendukungnya memberi dua opsi kepada Xanana untuk tidak boleh bertarung dalam pemilu presiden, yakni mengundurkan diri dari panggung politik formal dalam struktur kenegaraan atau pemerintahan, yang berarti dia akan menjadi "bapak bangsa" atau "founding father". Opsi kedua adalah mengubah posisinya dari kepala negara menjadi kepala pemerintahan atau menjadi perdana menteri menggantikan Jose Ramos Horta, yang kini menjadi kandidat kuat presiden. Tampaknya langkah kedua inilah yang akan diambil Gusmao sekalipun dia berkali-kali menampik anggapan itu. Menurut elite politik di Timor Leste, posisi Gusmao sebagai kepala negara tidak akan memungkinkan dia untuk lebih perperan dalam pembangunan negara baru itu karena konstitusi tidak mengizinkan presiden untuk melangkah lebih jauh dalam pelaksanaan program pemerintahan. Atas dasar inilah, Xanana tampaknya memilih untuk merebut kursi perdana menteri menggantikan posisi Ramos Horta yang menjadi salah satu calon kuat Presiden Timor Leste menggantikan Xanana Gusmao. Beberapa saat sebelum menggunakan hak pilihnya pada sebuah TPS di dekat rumah pribadinya di kawasan Balibar, Kecamatan Kristu Rei Dili, Senin, kepada Kantor Berita ANTARA, Xanana hanya berharap agar presiden baru nanti bisa lebih mencintai rakyatnya. "Presiden mendatang harus mau mengerti, mendengar, dan memperjuangkan kepentingan rakyat lebih daripada kepentingan pribadi dan kelompoknya," ungkapnya. Menurut dia, masalah terberat yang dihadapi Timor Leste saat ini adalah memilih pemimpin-pemimpin yang tepat, cakap, dan bisa membawa negara baru itu ke kemajuan yang lebih berarti. "Jika Timor Leste memiliki rencana pembangunan yang jelas, saya yakin dan optimistik bahwa negeri ini akan menjadi jauh lebih baik dalam 10 tahun atau 15 tahun ke depan," katanya sambil mencontohkan kemajuan yang dialami sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Indonesia. Xanana tampak begitu optimis akan kemajuan negaranya karena hanya memiliki penduduk yang jumlahnya di bawah satu juta jiwa sehingga dengan mudah pemerintahannya dapat melakukan sesuatu yang baik dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia tidak menyebut calon presiden yang dipandang dapat memahami dan mencintai rakyatnya, namun dari peta kekuatan yang ada, tampaknya Jose Ramos Horta (Perdana Menteri Timor Leste) lebih berpeluang menggantikan posisinya jika dibanding Francisco "Lu-Olo" Guterres yang dijagokan Partai Fretilin (Frente Revolucionario Timor Leste Independente). Horta adalah kandidat independen, namun dia lebih diunggulkan untuk melangkah ke kursi presiden karena dianggap sebagai seorang politisi yang cukup berpengalaman dalam melakukan lobi-lobi internasional. Ia yang lahir dari ibu asli Timor Leste dan ayah Portugis itu, menduduki jabatan Perdana Menteri tahun lalu menggantikan Mari Alkatiri. Sebelumnya, Horta menjabat Menteri Luar Negeri. Meskipun demikian, banyak pula warga Timor Leste yang tidak menyukai Horta terutama setelah dia menyetujui tindakan polisi internasional untuk menyerbu Mayor Alfredo Reinado, pimpinan kelompok pemberontak Timor Leste. Reinado adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai pemberontak dan pemicu kerusuhan berdarah tahun 2006. Sejauh ini Horta memiliki dukungan yang kuat terutama di Dili, ibukota Timor Leste, sedang Francisco "Lu-Olo" Guterres, pemimpin Fretilin yang kini menjabat Menteri Luar Negeri dan Ketua Parlemen ini dianggap memiliki dukungan kuat di tingkat akar rumput. Felix Latu (30), seorang teknisi teknologi informasi, mengatakan, dia akan memberikan suara bagi Horta karena dia yakin Horta akan mampu memimpin Timor Leste di masa mendatang. Sebaliknya, para pemilih di pedesaan, terutama di bagian timur Timor Leste, mengaku akan memilih Guterres. Kandidat lainnya yang diperhitungkan adalah Fernando "Lasama" de Araujo dari Partai Demokratik. Dia dikenal di Timor Leste sebagai tokoh pembela HAM. Dia pernah dipenjara Pemerintah Indonesia pada 1991 karena dituduh ikut dalam unjuk rasa 12 November yang diikuti dengan peristiwa kerusuhan Santa Cruz. Uskup Dili, Mgr Alberto Ricardo da Silva saat memberikan khotbah (homili) dalam Misa Paskah, Minggu (8/4) di Katedral Immaculata Dili mengingatkan umat Katolik di negara itu untuk melaksanakan hak politiknya dengan aman, damai dan tenang. "Pemilu kali ini merupakan salah satu jalan menuju pembangunan negara yang lebih baik. Pilihlah pemimpinmu yang mau turun ke bawah dan bersama-sama dengan rakyat membangun negara ini. Jangan memilih pemimpin yang hanya mau berdiri di Gunung Ramelau tanpa mau turun ke lereng-lerengnya," katanya dari mimbar gereja yang peresmiannya dilakukan oleh Panglima ABRI (saat itu), Jenderal TNI LB Moerdani pada 1987. Gunung Ramelau merupakan gunung tertinggi di Timor Leste, dan pesan yang disampaikan Uskup Alberto Ricardo da Silva adalah pemimpin yang baru harus mau merendahkan hatinya memahami kehendak masyarakat dan berjuang untuk mewujudkannya, bukanlah seperti "menara gading". Mantan Uskup Dili Mgr Carlos Filpe Ximenes Bello SDB ketika berada di Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur untuk mengikuti prosesi Jumat Agung di Kota Reinha Rosari itu mengatakan, masa depan Timor Leste terletak pada pemilu. "Pemilu yang berkualitas akan melahirkan pemimpin yang berkualitas dan dihormati masyarakat. Kerusuhan besar tahun 1999 dan 2006 karena pemecatan 600 prajurit masih tertancap dalam di memori warga Timor Leste," katanya. Sinyal yang disampaikan Uskup Dili dan mantan Uskup Dili itu memberi isyarat kuat bahwa selama lima tahun Timor Leste merdeka, pemerintahan di negara baru itu tidak memberikan sebuah harapan bagi rakyatnya untuk melangkah ke depan dengan penuh optimismes. Presiden Xanana Gusmao juga mengeritik pemerintahan di negara itu, karena tidak mampu memperbaiki keadaan perekonomian rakyatnya sehingga membuat rakyat di ujung timur Pulau Timor itu kecewa. (*)

Oleh Oleh Lorensius Molan
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007