Jakarta (ANTARA News) - Jessica Kumala Wongso, terdakwa perkara pembunuhan Wayan Mirna Salihin, mengaku sangat menderita setelah dituduh membunuh temannya dengan kopi bersianida.

"Setelah Mirna meninggal, mimpi buruk saya dan keluarga dimulai," kata dia saat membacakan nota pembelaan (pledoi) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu.

Pengalaman terburuknya adalah ketika harus melakukan rekonstruksi di Kafe Olivier, Grand Indonesia sembari mengenakan baju tahanan.

Dikelilingi polisi dan tatapan sinis orang-orang di sana, Jessica mengaku merasa terintimidasi dan hancur saat bertemu Sendy kembaran Mirna, Arif suami Mirna dan Hani yang sama-sama menjadi saksi saat Mirna meregang nyawa.

Saat rekonstruksi, Jessica harus berjalan ke toko sabun dan klinik di mal di tengah ramainya pengunjung mal pada Minggu sore yang menghujatnya sebagai "pembunuh berdarah dingin".

Jessica mengaku menderita karena dihakimi akibat tuduhan itu.

Sosoknya yang muncul di media mulai dicemooh masyarakat. Rumah pun menjadi tidak nyaman untuk ditinggali karena wartawan dan polisi berpakaian preman datang ke sana.

Menurut dia, ketika mencari ketenangan di hotel, tempat di mana ia ditangkap polisi, Jessica malah dituduh kabur.

Dia merasa tekanan polisi semakin terasa setelah dia ditangkap.

Sel yang hanya berisi seonggok kain kotor itu membuatnya menangis, apalagi selama dua hari pertama ia tidak boleh dijenguk.

Jessica juga mengutarakan saat di tahanan ia didatangi Kombes Krishna Murti saat masih menjabat Dirkrimum Polda Metro Jaya.

Menurut Jessica, Krishna meminta Jessica mengaku bersalah karena jabatan sang kombes  sedang dipertaruhkan.

Jessica mengklaim,  ketika itu, Krishna menyatakan hukuman yang akan dijatuhkan kepada dia hanya tujuh tahun -- bukan seumur hidup atau hukuman mati--, andai dia mengaku membunuh Mirna.

"Apa pun dan siapa pun tidak akan bisa membuat saya mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan," ujar Jessica.


 

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2016