Jakarta (ANTARA News) - Pelaksanaan perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia Bersatu jangan lagi sekadar wacana, karena jika terus berlarut dan ditunda-tunda tanpa kejelasan eksekusi, dikhawatirkan berdampak buruk terhadap kelangsungan pemerintahan sekarang. Demikian benang merah empat aktivis mahasiswa dari Kelompok Cipayung, yang dihubungi di Jakarta, Senin, menanggapi pernyataan Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla di dua tempat berbeda (Bogor serta Yogyakarta, Minggu (15/4), mengenai berbagai hal di seputar perombakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Para aktivis itu, masing-masing mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 2003-2005, Hasanuddin, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) periode 2003-2006, Kenly Poluan, mantan Sekjen Presidium Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PP GMNI) periode 2003-2006, Donny Lumingas dan Emmanuel Tular, Ketua Demisioner DPP Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI). Para aktivis berpendapat pertarungan politik di tingkat elit akan semakin sulit dikendalikan, jika dwi tunggal Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla tidak segera mengambil langkah konkret ke arah reposisi secara signifikan kabinet mereka. "Kalau memang presiden sebagai pemegang hak prerogatif dalam menyusun kabinet akan melaksanakan perombakan, maka beberapa hal ini harus dilakukan. Yang pertama dan utama, ialah waktu pelaksanaannya harus dilakukan secepat mungkin," kata Hasanuddin. Ini penting, karena menurut Hasanuddin, bagaimana pun statement presiden dan wakil presiden pasti akan berpengaruh terhadap kinerja kabinet yang ada saat ini, sehingga hal itu tidak boleh dibiarkan. "Selanjutnya, rekrutmen calon menteri yang akan diangkat seharusnya telah memiliki konsep yang jelas tentang apa yang harus dia lakukan sesaat setelah dilantik oleh presiden," ujarnya. Dengan begitu, lanjutnya, tidak ada alasan seorang menteri yang baru diangkat tak memiliki program untuk menjamin meningkatnya kinerja pemerintah, karena itulah alasan dilaksanakannya perombakan tersebut. "Selain itu, sebelum presiden memutuskan untuk mengangkat menteri-menteri dimaksud, para calon menteri telah melakukan presentasi di hadapan presiden, sehingga presiden mengetahui benar apa yang akan dilakukan menterinya," usul Hasanuddin. Kemudian yang keempat, sebaiknya semua partai politik, kelompok kepentingan, maupun kalangan birokrasi, menerima apa pun yang akan diputuskan oleh presiden. "Karena sesungguhnya perombakan yang dilakukan oleh presiden telah sesuai dan sejalan dengan aspirasi yang berkembang selama ini, bahwa perombakan kabinet bukan dalam kerangka politik kekuasaan semata, melainkan untuk meningkatkan kinerja kabinet, demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang lebih baik," katanya. Penyegaran Kabinet Sementara itu, Kenly Poluan mengingatkan perombakan jangan hanya jadi wacana politik untuk kepentingan elit tertentu. "Rakyat akhirnya bisa mengambil kesimpulan kontra produktif, jika ini hanya wacana yang terus diulur-ulur, padahal tak lama lagi Pemilu termasuk Pilpres berlangsung," katanya. Kenly mengatakan lebih banyak buruknya jika tidak segera terjadi perombakan, malah dapat muncul aksi-aksi berbahaya di tataran elit yang imbasnya akan sangat terasa ke grassroot. Hampir senada dengan itu, Donny Lumingas mengemukakan kepercayaan publik sesungguhnya mulai menurun terkait berbagai janji dan wacana bersifat politis di tingkat elit yang beberapa kali tidak konkret. "Jika perombakan kali ini pun tak terjadi, saya memperkirakan pesona Presiden Yudhoyono dan partai-partai pendukungnya di mata publik semakin melorot," ujarnya. Kenly Poluan dan Donny Lumingas juga sama-sama berpendapat, reposisi menteri harus berlangsung secara drastis, artinya tidak hanya sebagian kecil anggota kabinet yang diganti, tetapi harus signifikan. Tegasnya, mereka menawarkan jumlah lebih dari 10 posisi dalam KIB harus mendapat penyegaran. Sedangkan Emmanuel Tular agar berbeda dengan mengatakan, perombakan hanya akan berguna jika semua kepentingan masyarakat terwakili dengan jelas serta konkret. "Problem mendasar di tubuh KIB saat ini adalah faktor kerjasama yang kurang stabil, juga dukungan publik terhadap beragam kebijakan yang dilahirkan para anggota kabinet itu," katanya. Hal ini, menurut Emmanuel Tular, terjadi karena masih banyak rakyat yang merasa tak terepresentasi kepentingan, aspirasi maupun kebutuhannya dari KIB ini. "Jadi, sebaiknya pertimbangan profesionalitas dan politik mesti diperkuat lagi dengan perhitungan-perhitungan representasi etnik,? kata Emmanuel Tular. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007