Jakarta (ANTARA News) - Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Taufik Basari, menegaskan bahwa pemerintah harus berani untuk memerintahkan PT Lapindo Brantas Inc., agar membayar tunai kerugian yang dialami oleh warga Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perum TAS) Sidoarjo, Jawa Timur. Ia mengemukakan hal itu di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin, dan menilai bahwa pembayaran ganti rugi secara bertahap hanya menunda kesengsaraan para warga Perum TAS yang terkena semburan lumpur dari proyek Lapindo. YLBHI, lanjut Taufik, mendukung tuntutan warga Perum TAS, karena itu merupakan pilihan korban terhadap metode pembayaran yang mereka inginkan. "Tuntutan korban berupa ganti rugi tunai dan langsung harus dipenuhi saat ini juga. Pemerintah harus berani untuk memerintahkan PT Lapindo membayar tunai," katanya. Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, menurut Taufik, adalah bentuk ketidakberanian pemerintah terhadap PT Lapindo dan sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Pasal 15 Perpres Nomor 14 Tahun 2007 mengatur bahwa PT Lapindo Brantas Inc. harus membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur, sesuai dengan peta area dampak tertanggal 22 Maret 2007. Namun, ia mengemukakan, pasal itu mengatur, pembayaran terhadap warga dilakukan secara bertahap, yaitu sebesar 20 persen dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Taufik mengatakan, sudah berbicara dengan para warga Perum TAS Sidoarjo yang datang ke Jakarta untuk memprotes kebijakan pembayaran bertahap itu. "Yang mereka keluhkan, pembayaran 20 persen di muka itu tidak cukup untuk mereka membeli rumah lagi. Maka, ini hanya akan menunda penderitaan mereka," katanya. Para korban semburan lumpur itu pun, lanjut dia, seharusnya memegang uang yang cukup untuk memulai kehidupan baru. Perpres tersebut, menurut Taufik, juga merupakan cedera janji dari Bupati Sidoarjo. Saat warga Perum TAS hendak berangkat ke Jakarta untuk menuntut ganti rugi, mereka pernah dijanjikan untuk mendapatkan ganti rugi tunai atas tempat tinggal mereka yang terendam lumpur. "Sebelum Perpres dikeluarkan, Bupati Sidoarjo pernah berjanji untuk membayar ganti rugi secara `cash and carry`. Tapi, ternyata janji dia tidak sesuai dengan Perpres," katanya. YLBHI, lanjut Taufik, dapat memahami kekecewaan yang dialami oleh warga Perum TAS yang akhirnya memilih untuk berunjukrasa ke Jakarta guna menuntut pembayaran tunai atas kerugian mereka. Aksi unjuk rasa itu, menurut dia, merupakan suatu bentuk protes bahwa para korban luapan lumpur tidak lagi memercayai pemerintah daerah dan meminta pemerintah pusat guna memberi perhatian. Oleh karena itu, Taufik menyayangkan tindakan Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) yang menghalang-halangi keinginan para korban untuk datang ke Jakarta. Pada Senin, sejumlah warga Perumtas berunjukrasa di depan Istana Negara guna menuntut pembayaran tunai atas kerugian yang mereka alami, kemudian mereka ke Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), dan berupaya ke Gedung DPR RI. Ratusan pengunjukrasa tersebut datang ke Jakarta dalam sejumlah kelompok terpisah guna menghindari halangan dari pihak keamanan, dan selama di Jakarta berkumpul di pelataran Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. (*)

Pewarta: priya
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007