Jakarta (ANTARA News) - Tidak semua bentuk pelanggaran pers dapat diselesaikan melalui Undang-undang (UU) Pokok Pers, meskipun UU itu sifatnya "lekspesialis", kata praktisi hukum, Dr. OC Kaligis di Jakarta, Rabu. "Menurut saya, tidaklah adil jika seseorang meninggal dunia akibat kesalahan dari teman-teman pers lalu hukumannya melalui UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers," katanya ketika dimintai tanggapan atas putusan majelis hakim yang tidak konsisten dalam menerapkan UU Pokok Pers dalam mengadili suatu kasus yang terkait pemberitaan. Sebagai contoh, Kaligis mengatakan ada seseorang tokoh masyarakat yang tidak disukai oleh sekelompok orang. Kelompok orang itu kemudian membuat pernyataan bahwa tokoh masyarakat tersebut dulunya tukang santet yang sudah menelan banyak korban manusia. Peryataan itu kemudian dimuat majalah dua minguan yang surat izin penerbitannya tidak jelas. Sekelompok orang itu, setelah membuat pernyataan di pers, kemudian memprovokasi tetangga tokoh tersebut untuk menghakiminya karena membahayakan. "Tokoh tersebut kemudian meninggal akibat dianiaya, atau dikeroyok orang banyak. Dalam kaitan itu apakah adil jika pers yang memicu meninggalnya seseorang kemudian hakim hanya mengadili melalui UU Pers?," katanya. Diakuinya bahwa di dalam UU Pokok Pers, seseorang yang keberatan terhadap pemberitaan dapat mengajukan keberatan. Kode etik jurnalistik juga mewadahi adanya keberatan itu. Masalahnya adalah, orang yang sudah meningal itu tidak dapat memberikan klarifikasi bahwa dia adalah bukan tukang santet seperti yang disangkakan sekelompok orang tersebut. Dalam kaitan itu, kata OC Kaligis, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih relevan jika diterapkan dalam tindakan kejahatan yang terkait dengan masalah pers tersebut, sejauh hal itu mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Tetapi jika masalahnya tidak terkait dengan meninggalnya nyawa seseorang, seperti tulisan yang menyinggung kewibawaan seorang pejabat misalnya, maka UU Pers dapat diterapkan, katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007