Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa masih rendahnya manajemen risiko perbankan akan menghambat penyaluran kredit. Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S. Gultom, seusai membuka acara Kajian Stabilitas Keuangan di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa rendahnya penyaluran kredit saat ini tidak hanya faktor sektor riil yang belum bergerak, namun juga dipengaruhi oleh masih rendahnya kemampuan bank dalam mengelola risiko. Menurut dia, pengelolaan risiko yang kurang baik menjadikan tingkat kredit bermasalah menjadi tinggi, sehingga perbankan menjadi berhati-hati dalam penyaluran kredit. "Mereka takut kredit bermasalahnya naik," tambahnya. Miranda juga mengungkapkan, dari pelonggaran aturan yang ada saat ini diharapkan bisa membuat perbankan untuk menyalurkan kreditnya. Dia menilai, pembiayaan terhadap proyek-proyek infrastruktur dan properti akan menjadi unsur penggerak sektor usaha lainnya, seperti usaha kecil yang mendukung proyek tersebut. "Untuk saat ini permasalahan rendahnya kredit bukan hanya semata karena faktor dari perbankan namun memang karena kegiatan disektor riil belum sepenuhnya berjalan. Yang pinjam belum banyak karena kegiatan di sektor riil juga belum berlangsung," urainya. Dengan adanya Undang-undang Penanaman Modal (UU PM) yang baru, lanjutnya, diharapkan bisa menambah gairah investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia guna mendorong pertumbuhan ekonomi. "Tapi, bukan hanya penanam modal asing, tapi juga penanam modal di Indonesia yang sekarang hanya menyimpan uangnya di deposito," kata Miranda. Dia juga mengatakan bahwa tingginya penyerapan penyerapan dana yang cukup besar dalam lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk mengurangi akses likuiditas di pasar. "Jadi, penyerapan dana ke SBI yang tinggi itu karena kita mau mengurangi akses likuiditas di pasar," katanya. Dia juga menolak bahwa tingginya SBI itu untuk mengantipasi penundaan SPN (Surat Perbendaharaan Negara). "Siapa bilang ditunda? Saya saja belum dengar mengenai penundaan itu, karena sepanjang yang saya tahu sampai kemarin akan diterbitkan," katanya menambahkan. Sementara itu, Departemen Keuangan (Depkeu) pada Kamis pagi mengumumkan, Pemerintah menunda penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang semula direncanakan pada 24 April 2007, karena masih memerlukan koordinasi yang lebih baik antar-berbagai pihak. "Tadi pagi, kami rapat koordinasi dengan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak dan memutuskan menunda penerbitan SPN," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Utang Depkeu, Rahmat Waluyanto. Semula pemerintah merencanakan penerbitan SPN untuk pertama kalinya pada 24 April 2007 senilai Rp3 triliun hingga Rp4 triliun. Rahmat Waluyanto menambahkan, ada sejumlah ketentuan pelaksanaan seperti bidang perpajakan yang masih perlu dikoordinasikan dengan lebih baik. (*) (Foto: Miranda S. Gultom)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007