Melbourne (ANTARA News) - Fenomena perubahan iklim yang semakin nyata dirasakan dampaknya di seluruh penjuru dunia dan dikuatkan oleh bukti-bukti ilmiah, ternyata tidak berjalan seiring dengan kecepatan galangan kerjasama untuk mencegah munculnya kondisi yang lebih buruk. "Kita semua masih belum tahu apa yang akan kita lakukan selepas tahun 2012, setelah masa Protokol Kyoto berakhir," kata Brian Dawson, ahli perubahan iklim dan CDM (mekanisme pembangunan bersih) untuk Badan Pembangunan PBB (UNDP), di Melbourne. Brian mengatakan hal itu seusai berbicara tentang kebijakan program perubahan iklim UNDP dalam Konferensi Internasional Jurnalis Sains, yang digelar 16-20 April 2007. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ketidakpastian rencana yang akan diambil setelah Protokol Kyoto usai, lebih disebabkan oleh spektrum kepentingan yang terlalu beragam antar negara. Itu sebabnya, menurut dia, UNFCCC (Pertemuan PBB untuk Perubahan Iklim) yang akan digelar di Bali pada Desember 2007 mendatang adalah momentum yang tepat untuk menentukan rencana aksi dan kerjasama selepas Kyoto. "Kita akan membahas tindakan akan yang akan kita lakukan setelah 2012, tapi untuk saat ini saya bisa katakan semua orang masih 'buta' soal topik bahasan di Bali nanti," ujar dia. Brian berpandangan, rentang waktu selama 10 tahun yaitu dari 1997 ketika protokol ditandatangani hingga saat ini, belum banyak kemajuan memuaskan yang dapat dilihat. Sebagian negara donor, kata dia, merasa investasi mereka selama 10 tahun ini belum membuahkan hasil sehingga sulit bagi mereka untuk merencanakan apa tindakan berikutnya yang harus diambil. Ketika disinggung tentang peluang diloloskannya pengajuan dana program pencegahan deforestasi, Brian mengaku pihaknya tidak yakin sidang UNFCCC akan meloloskannya sebagai tambahan mekanisme CDM. Pria kebangsaan Australia itu memandang kesepakatan soal proposal itu akan sangat rumit dan penuh dengan perdebatan. "Protokol Kyoto bisa dikatakan sangat sukses dalam hal infrastuktur, mengumpulkan demikian banyak negara dalam sebuah forum rembuk," jawab Brian, "Bahkan bila dibandingkan dengan wadah kerjasama lain, Protokol Kyoto yang baru berusia 10 tahun adalah yang paling sukses." Namun demikian, ia mengakui bahwa Protokol Kyoto gagal menurunkan emisi gas rumah kaca sebagaimana direncanakan semula. "Ini karena sedikit saja negara yang menandatangani kesepakatan mengurangi dan membatasi emisi gas rumah kaca," katanya. Menanggapi klaim pemerintah Australia yang mengaku berhasil mencapai target Kyoto, padahal negara itu bukan penandatangan protokol, Brian mengaku cukup kaget dan terkesan dengan hal tersebut. Ia menekankan bahwa upaya reduksi emisi gas rumah kaca harus lebih memusatkan perhatian pada efisiensi energi dan teknologi bahan bakar yang tidak terlalu banyak menghasilkan emisi. Alokasi dana UNDP untuk perubahan iklim sendiri, menurut Brian, didominasi oleh pembiayaan sektor energi yang lebih lebih ramah lingkungan. Bagi UNDP, upaya adaptasi dan mitigasi juga harus dilakukan secara bersamaan dengan upaya efisiensi sektor energi. "Karena bila kita melakukan mitigasi besar-besaran sekarang, biaya untuk adaptasi pada mendatang tentu bisa bakal lebih murah," kata Brian Dawson.(*)

Pewarta: bwahy
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007