Jakarta (ANTARA News) - Fungsionaris DPP Partai Golkar, Muladi, mengatakan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) terlalu luas karena tidak hanya menyatakan Undang-undang (UU) bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga bisa membatalkan UU. "MK terlalu luas wewenangnya," katanya dalam acara Temu Wicara antara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan DPP Partai Golkar di Jakarta, Sabtu malam. Selain itu, menurut Muladi, keputusan MK yang bersifat final juga merupakan suatu wewenang yang tidak memberi ruang untuk evaluasi. Putusan yang bersifat final adalah putusan pada tingkat terakhir, sehingga tidak memberi kesempatan pada para pihak yang terlibat dalam persidangan untuk mengajukan keberatan apabila merasa tidak mendapat keadilan dalam putusan yang dijatuhkan. "Bagaimana jika terjadi kesalahan dalam menentukan putusan?," ujar Muladi yang juga menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Selain itu, Muladi juga mengkritisi cara kerja MK yang hanya menguji UU dengan pasal-pasal dalam UUD 1945, bukan terhadap pembukaan UUD 1945. Padahal, katanya, pembukaan UUD 1945 adalah intisari dari pasal-pasal yang dijabarkan dalam batang tubuh. Jadi sangat beralasan jika MK juga mendasarkan setiap putusannya pada ketentuan yang ada dalam pembukaan UUD 1945. "Pembukaan jangan hanya dijadikan asesoris saja," katanya. Nilai penting pembukaan, menurut Muladi, sebenarnya sudah dipahami banyak kalangan. Hal itu diantaranya terwujud dari komitmen para penyelenggara negara untuk menjaga keutuhan pembukaan meski telah melakukan sejumlah perubahan pada batang tubuh UUD 1945. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan semua putusan MK selalu benar, meskipun muncul berbagai opini terhadap putusan tersebut. "Sepanjang dalam praktik bernegara, putusan MK harus dikonstruksikan selalu benar," katanya. MK adalah satu institusi dengan peran sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang mengadili atau menguji Undang-undang (UU). Keberadaan MK sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir dengan putusan yang bersifat final dan mengikat tidak memberi kesempatan kepada warga untuk mengajukan keberatan pada lembaga peradilan lebih tinggi. Jimly mengatakan kontribusi warga negara yang bisa memengaruhi putusan MK dapat diberikan pada saat proses pengujian UU dilaksanakan. Pada saat itu, katanya, semua pihak dapat berargumen sesuai dengan keyakinan dan pemikirannya terkait dengan produk hukum yang sedang diuji. Para pihak, lanjut Jimly, juga berhak mengajukan ahli untuk mendukung dalil mereka. Terkait mekanisme kontrol terhadap MK, Jimly mengatakan pada dasarnya hakim konstitusi bisa diberhentikan jika telah melanggar kode etik. Pemberhentian itu diatur dalam UU nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, yaitu dengan membentuk mejelis kehormatan yang berwenang menangani pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007