Nakuru (ANTARA News) - Margasatwa tetap menjadi salah satu tiang ekonomi buat Kenya, tapi dampak perubahan iklim mengancam keberadaan sumber daya itu sehingga negara Afrika Timur tersebut terpajan kerentanan ekonomi.

Aden Duale, pemimpin mayoritas di Majelis Nasional Kenya, di dalam sambutannya di parlemen negerinya pada 1 Desember untuk menghimpun dukungan bagi persetujuan untuk pengesahan Kesepakatan Perubahan Iklim Paris, mengatakan bahwa Kenya rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Penyebabnya, menurut dia, Kenya sangat tergantung atas sektor sensitif iklim, seperti margasatwa, pariwisata, pertanian, energi, air dan kesehatan.

Anggota Parlemen memang menyetujuinya, sehingga memberi jalan bagi penerapan tindakan dan strategi bagi pengurangan dan penyesuaian diri terhadap perubahan iklim di negeri tersebut.

Julius Kamau, Direktur Pelaksana Masyarakat Kehidupan Satwa Afrika Timur (EAWLS), mengatakan bahwa sudah ada bukti jelas bahwa margasatwa dan habitat di seluruh Kenya sudah merasakan dampak perubahan iklim.

"Misalnya, telah terjadi kematian massal burung bangau di (Taman Nasional) Danau Nakuru," kata Kamau pada Sabtu (10/12) kepada Xinhua.

Taman Nasional Danau Nakuru adalah satu dari dua taman utama di Kenya, dan selama ini menjadi tempat perlindungan badak.

Kamau mengatakan perubahan iklim telah mengakibatkan perubahan pada habitat margasatwa di berbagai wilayah negeri tersebut, sehingga mengganggu kehidupan normal mereka.

"Buat sebagian besar spesies, habitat menjadi kurang layak dengan curah hujan yang tidak merata, temperatur lebih tinggi, pengeringan daerah rawa dan peningkatan permukaan air laut," katanya.

Kesehatan dan kelangsungan hidup populasi margasatwa secara rumit berkaitan dengan kondisi ekosistem dan habitat, yang menjadi tempat kelangsungan hidup mereka, katanya.

Oleh karena itu, ia menilai, sekecil apa pun perubahan habitat dan ekosistem secara langsung mempengaruhi prilaku dan kelangsungan hidup mereka.

Kamau menekankan ancaman perubahan iklim sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup margasatwa sebab kondisi tersebut mengakibatkan berkurangnya populasi margasatwa melalui beragam cara.

Perubahan iklim mengakibatkan peningkatan peristiwa konflik manusia-margastwa, sehingga membahayakan kehidupan hewan, katanya.

"Misalnya, menurut Dinas Margasatwa Kenya, kemarau telah mendorong singa lebih dekat ke sumber air yang berbatasan dengan permukiman manusia sehingga meningkatkan kemungkinan konflik," ujar Kamau.

Ia menimali, "Terjadi peningkatan persaingan antara manusia dan margastwa akibat hilangnya sumber daya, yaitu air dan makanan. Karnivora telah terlihat membunuh ternak dan harus mengurus isi perut bukan hanya dengan makanan tapi juga air. Akibatnya ialah manusia juga membunuh margasatwa untuk makanan dan sebagai aksi pembalasan."

Kemarau yang berkepanjangan juga mengakibatkan kematian margasatwa secara langsung akibat volume air yang berkurang dan perebutan makanan telah menjadi penyebab kematian burung bangau di Taman Nasional Danau Nakuru, katanya.

Selain itu, ia menyatakan, perubahan iklim juga telah memicu peningkatan penyebaran dan kemunculan penyakit margasatwa.

"Pada 2007 misalnya, antraks menyerang zebra Grevys di Taman Nasional Samburu," kata Kamau.

Ia mengatakan para ahli meramalkan seperempat margasatwa di Kenya akan menghadapi kepunahan sampai 2050 jika kecenderungan pemanasan berlanjut dengan tingkat seperti sekarang.

Untuk meningkatkan keuletan margasatwa, Kamau menambahkan, pentingnya untuk meningkatkan pengetahuan di kalangan masyarakat mengenai cara menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim guna menghilangkan tekanan atas ekosistem yang bergantung pada margasatwa.

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2016