Jakarta (ANTARA News) - Sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa korupsi perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Hotel Hilton, Pontjo Sutowo dan Ali Mazi, ditunda karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum siap. Pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa, JPU Hendrizal Husin meminta kepada Majelis Hakim untuk menunda sidang selama satu pekan. "Kami meminta waktu penundaan selama satu pekan karena tuntutan belum siap," kata Hendrizal. Majelis Hakim yang diketuai Andriani Nurdin mengabulkan permohonan JPU dengan syarat pada pekan depan, Selasa, 1 Mei 2007, JPU harus sudah siap dengan tuntutannya. "Mengingat JPU kemarin sudah diberi waktu dua pekan untuk menyiapkan tuntutan, maka pada pekan depan tuntutan harus sudah siap dibacakan," kata Andriani. Majelis Hakim juga mengingatkan, sesuai dengan asas peradilan yang cepat, efisien dan murah, maka perkara korupsi harus sudah selesai disidangkan dalam waktu enam bulan. "Jika melewati waktu enam bulan, maka Majelis harus membuat laporan ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung untuk menjelaskan penyebab keterlambatan ini," kata Andriani. Usai persidangan, Hendrizal menjelaskan, penyebab tidak siapnya tuntutan karena tim JPU masih membutuhkan waktu untuk menganalisa fakta-fakta yang timbul selama persidangan guna dikaitkan dengan unsur-unsur perbuatan yang didakwakan. "Itu kan butuh analisa. Membutuhkan waktu," ujarnya. Meski membutuhkan waktu lama, Hendrizal membantah JPU mengalami kesulitan atau tekanan untuk menyusun tuntutan. Direktur Utama PT Indobuildco, Pontjo Sutowo, dan mantan kuasa hukumnya yang kini menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara non aktif, Ali Mazi, disidangkan sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Hotel Hilton sejak 3 Oktober 2006. Keduanya didakwa secara bersama-sama memperpanjang HGB Hotel Hilton yang berada di kawasan Gelora Senayan yang dikuasai oleh Sekretaris Negara, melalui prosedur yang tidak sah sehingga berpotensi merugikan negara hingga Rp1,936 triliun. Perhitungan kerugian negara itu didasarkan pada perhitungan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Gatot Subroto tahun 2003. PT Indobuildco mendapat haknya untuk mengelola kawasan seluas 13 ribu hektar di kawasan Senayan atas permintaan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, guna menyediakan fasilitas penginapan untuk penyelenggaran konferensi Asia Pasifik pada 1974. Untuk itu, PT Indobuildco mendapat sertifikat HGB No 26 dan 27 untuk masa 30 tahun, sejak 1973 hingga 2003. Pada 1989, Kepala BPN pusat mengeluarkan SK No169 yang bertujuan mengamankan aset-aset negara dan menyatakan kawasan gelora senayan, termasuk kawasan Hotel Hilton, berada di atas Hak Pengelolaan Lahan No 1 atas nama Sekretariat Negara. Dengan adanya SK itu, maka PT Indobuildco selaku pemegang HGB harus melepaskan haknya sebelum masa HGB-nya habis dan membuat perjanjian kerja sama dengan Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS) selaku pemegang HPL, guna memperoleh HGB baru yang berada di atas HPL. Namun, PT Indobuildco memperpanjang sendiri HGB No 26 dan 27 tanpa terlebih dahulu membuat kerja sama dengan BPGS. PT Indobuildco kemudian mendapat perpanjangan HGB selama 30 tahun lagi, sejak 2003 hingga 2033, tanpa menyebutkan status HGB itu berada di atas HPL atas nama Sekretariat Negara. HGB itu kemudian dijadikan jaminan utang oleh PT Indobuildco pada Bangkok Bank Public senilai 100 juta dolar AS dan pada Bank Dagang Negara tanpa sepengetahuan BPGS selaku pemegang HPL. Dalam dakwaan primer, Pontjo dan Ali Mazi dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Dalam dakwaan subsider, keduanya dijerat dengan pasal 3 jo pasal 18 UU yang sama, soal menyalahgunakan kewenangan atau jabatan. Ancaman hukuman maksimal dalam dakwaan primer adalah 20 tahun penjara, sedangkan dalam dakwaan subsider adalah hukuman pidana seumur hidup. Selain Pontjo dan Ali Mazi, mantan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat, Ronny Kusuma Yudhistiro dan Mantan Kakanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta, Robert J Lumampouw, juga dijadikan terdakwa dalam perkara yang sama, namun disidangkan dalam berkas perkara terpisah.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007