Jakarta (ANTARA News) - Kantor Kementerian BUMN menggenjot kinerja BUMN untuk mencapai swasembada gula pada 2009 melalui revitalisasi pabrik gula agar lebih efisien, di samping peningkatan mutu tebu petani sebagai pemasok bahan baku gula ke BUMN. "Saya bertanggung jawab bagaimana dalam tiga tahun ke depan kita bisa swasembada gula," kata Meneg BUMN Sugiharto di Jakarta, Jumat. Ia mengaku prihatin sampai saat ini Indonesia masih melakukan impor gula sekitar 600 ribu sampai 700 ribu ton per tahun bahkan lebih. Padahal Indonesia pernah mencapai swasembada gula pada jaman penjajahan Belanda. Saat ini, kata dia, dari kebutuhan gula di dalam negeri yang mencapai sekitar tiga juta ton per tahun, kapasitas produksi gula nasional hanya mencapai sekitar dua juta ton. Dari jumlah produksi gula nasional itu, sekitar 70 persen diproduksi BUMN dan 30 persen oleh swasta. Oleh karena itu, Sugiharto melihat peranan BUMN seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN), PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), sangat besar untuk mencapai swasembada gula pada 2009. "Yang 70 persen (produksi BUMN) itu saya genjot. Itu lagi-lagi investasi, bagaimana merevitalisasi pabrik gula," katanya. Sugiharto mengatakan, revitalisasi pabrik gula sangat menentukan produktifitas pabrik maupun petani, karena selama ini petani memasok tebunya untuk digiling di pabrik gula dengan bagi hasil 65 persen untuk petani dan 35 persen untuk pabrik gula. Namun, ia juga mengakui revitalisasi pabrik gula juga harus diimbangi dengan peningkatan produktifitas petani melalui varietas tebu yang mampu menghasilkan rendemen yang tinggi. Petani tebu pernah mencapai rendemen tertinggi pada jaman penjajahan Belanda sampai 12 persen, namun sekarang baru tercapai tujuh persen. "Kombinasi itu (untuk meningkatkan produksi gula) sudah kami hitung. Kalau dinaikkan satu persen saja hasilnya, maka sama dengan 320 ribu ton gula ditambah produksi nasional," katanya. Dengan asumsi itu, lanjut Sugiharto, ia memperkirakan selain revitalisasi pabrik gula, untuk mencapai swasembada gula pada 2009 diperlukan 60 ribu hektar lahan tebu baru dalam tiga tahun atau 20 ribu hektar dalam setahun. Ia melihat penambahan lahan tebu bisa dikembangkan di Jawa Timur dan Lampung. Menanggapi pertanyaan bahwa hambatan revitalisasi pabrik gula selama ini terkait pembiayaan, Sugiharto mengatakan pada dasarnya pembiayaan tidak susah. Kesulitan mendapatkan pembiayaan terjadi, menurut dia, karena Direktur Keuangan PTPN mengelola keuangan secara primitif. Ia mencontohkan PTPN X yang baru saja mendapatkan penghargaan dari Forum Masyarakat Gula (FMG) Indonesia, memasukkan nilai aset 11 pabrik yang dimilikinya dengan kapasitas 33.500 tcd (ton tebu per hari) hanya sekitar Rp349 miliar. Padahal, kata dia, perusahaan yang mau mendirikan pabrik dengan kapasitas sebesar 33.500 tcd itu investasinya mencapai Rp3triliun sampai Rp4triliun. "Itu artinya asetnya sebenarnya Rp3-4triliun dicatatnya Rp349miliar, berarti depresiasinya kecil, profitnya besar. Itu akal-akalan orang PTPN, yang menyesatkan. Saya lihat neraca keuangannya tidak ada utang, tidak ada poin yang menekan, dan tidak ada bunga. Dalam ilmu manajemen keuangan, itu berarti manajemen yang paling primitif," katanya. Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti), pada 2005-2006 Indonesia merupakan negara ke-9 pengkonsumsi gula terbesar mencapai 3,8 juta ton, namun produksi gula tebunya hanya sekitar 2,1 juta ton, sehingga menjadi negara pengimpor gula ke-9 terbesar di dunia.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007