Jakarta (ANTARA News) - Starbucks berjanji memperkerjakan 10.000 pengungsi selama lima tahun menanggapi perintah eksekutif Donald Trump yang sementara melarang akses para pengungsi masuk ke Amerika Serikat (AS) dan melarang masuk bagi siapapun dari tujuh negara mayoritas Muslim.

Gerakan itu muncul setelah perusahaan-perusahaan besar di AS termasuk Alphabet, Amazon, Ford, Goldman Sachs, dan Microsoft menentang kebijakan tersebut. (Baca juga: Google, Apple, protes kebijakan imigrasi Trump)

Howard Schultz, Chief Executive waralaba kopi tersebut mengatakan dia memiliki "kekhawatiran besar" soal perintah presiden dan akan mengambil langkah besar, dimulai dengan menawarkan pekerjaan pada para pengungsi.

"Kami membangun rencana untuk memperkerjakan 10.000 dari mereka selama lima tahun di 75 negara di seluruh dunia di mana Starbucks membuka cabang," katanya dalam sebuah nota pada para pekerja.

Dia menambahkan gerakan itu untuk memperjelas bahwa perusahaan "tidak akan hanya berpangku tangan atau diam saja, sementara ketidakpastian di seputar tindakan pemerintah yang baru terus tumbuh setiap harinya."

Schultz mengatakan fokus awalnya akan diperuntukan bagi pengungsi di AS dan bagi para pengungsi yang sudah berjasa menjadi penerjemah bagi militer AS, tapi belum jelas kapan waktu lima tahun itu akan dimulai, atau apakah orang-orang akan dipekerjakan langsung oleh Starbucks atau oleh pemasok.

Schultz menambahkan perusahaan yang berbasis di Seattle itu juga mengontak para pekerja yang terdampak oleh pelarangan imigrasi.

Gerakan itu mendapat dukungan dan cacian di sosial media. tagar #BoikotStarbucks menjadi trending di Twitter pada Senin pagi, demikian The Guardian.

(Baca juga: Trump disebut-sebut akan hentikan visa bagi tujuh negara Islam)

Penerjemah:
Editor: Monalisa
COPYRIGHT © ANTARA 2017