Jakarta (ANTARA News) - Indonesia melanggar hukum internasional jika memberlakukan hukuman mati terhadap terdakwa kasus narkotika karena kejahatan serupa tidak termasuk dalam ketegori kejahatan paling serius dalam hukum internasional, kata pakar hukum internasional Prof. Andrew Byrnes dari University of New South Wales, Australia. Pendapat itu diungkapkannya ketika hadir sebagai ahli dalam sidang uji materi UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu. Menurut Byrnes, Komite HAM yang juga penafsir International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tidak menyatakan penyelahgunaan narkotika sebagai kejahatan atau pelanggaran hukum yang paling serius. Dalam ICCPR, katanya, yang dimaksud pelanggaran yang paling serius dan memungkinkan untuk dijatuhi hukuman mati adalah pelanggaran yang sengaja dilakukan untuk menimbulkan kekerasan yang berpotensi menimbulkan akibat mematikan. Oleh karena itu, pemberlakuan hukuman mati terhadap terdakwa kasus narkotika adalah pelanggaran kewajiban internasional Indonesia karena pemerintah Indonesia telah meratifikasi ICCPR pada 2005. "Menjatuhkan hukuman mati dalam kasus nakotika melanggar kewajiban Indonesia berdasarkan ICCPR," katanya. Lebih lanjut Byrnes menuturkan hukuman mati merupakan pelanggaran asas kesewenang-wenangan dalam menghilangkan nyawa seseorang, seperti diatur dalam pasal 6 ayat (1) ICCPR. Kesewenang-wenangan dalam ICCPR diartikan sebagai tindakan yang diantaranya mengandung unsur ketidaktepatan dan ketidakadilan. Menanggapi hal itu, Ketua MK Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa dasar pengujian UU adalah UUD 1945. "Ini adalah mahkamah konstitusi, bukan mahkamah internasional," kata Jimly. Namun demikian, katanya, hukum internasional tetap diperlukan dalam pengambilan keputusan oleh majelis hakim. Menurut Jimly, hukum internasional diperlukan sebagai pertimbangan karena tidak dapat dipungkiri di dalam UUD 1945 juga terdapat asas-asas universal. Berbeda dengan Byrnes, dalam persidangan sebelumnya Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menegaskan seluruh pemidanaan pada dasarnya melanggar hak asasi manusia, namun pelanggaran ini sah karena sesuai dengan hukum yang berlaku. Jaksa Agung juga menyatakan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang. Uji materi pasal 80, 81, 82 dalam UU No 22 Tahun 1997 yang mengatur hukuman mati bagi terdakwa kasus narkotika dimohonkan oleh tiga terpidana mati kasus Bali Nine warga negara Australia, Andrew Chan, Myuran Sukumaran, dan Scott Anthony Rush. Sedangkan dua pemohon lain adalah warga negara Indonesia, yaitu Edith Yunita Sianturi yang terlibat kasus kepemilikan narkotika seberat 1 kg dan Rani Andriani yang terlibat kasus kepemilikan narkoba seberat 3,5 kg.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007