Jakarta (ANTARA News) - Produsen plastik nasional mengharapkan Iran dan Cina memproduksi etilene di Indonesia, menyusul penolakan Jepang membangun pabrik bahan baku plastik tersebut untuk mengatasi defisit sekitar 900.000 ton etilene di Indonesia. "Kita butuh tambahan produksi sekitar 900 ribu ton etilene untuk bahan baku produksi plastik di dalam negeri," kata Ketua Umum Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia (INAPLAST), Didie W. Soewondho, di Jakarta, Kamis. Didie mengatakan, untuk mengatasi kekurangan tersebut pihaknya berharap Iran dan Cina mau membangun pabrik etilene di Indonesia karena kedua negara tersebut tengah dalam proses pembangun kilang minyak (refinery) di Indonesia. Investor dari Iran menggandeng Elnusa untuk membangun refinery di Banten, sedangkan Cina melalui SINOPEC akan mengikuti tender pembangunan refinery milik Pertamina di Tuban, Jawa Timur (Jatim). "Kalau Cina menang tender 'refinery' itu, kita harapkan mereka juga bangun pusat olefin," katanya. Refinery adalah kilang minyak yang menghasilkan nafta untuk bahan baku etilene. Ia mengatakan, saat ini kebutuhan etilene di Indonesia yang mencapai sekitar 1,4 juta ton per tahun hanya mampu dipasok satu produsen etilene, yaitu Chandra Asri yang produksinya setahun hanya 525 ribu ton. Sedangkan, sekitar 900 ribu ton lainnya diimpor dari Singapura, Korea Selatan, dan Timur Tengah. "Jadi, kita membutuhkan 1,5 sampai dua kali pabrik seperti Chandra Asri," kata Didie. Saat ini, kata dia, Chandra Asri baru mampu menambah kapasitas produksi menjadi 590 ribu ton melalui optimalisasi pabrik lewat "bottlenecking". "Kami mengharapkan Chandra Asri tambah pabrik satu lagi," katanya. Menurut Didie, investasi satu pabrik etilene dengan kapasitas 500 ribu ton membutuhkan investasi sekitar 1,2 miliar dolar AS. Namun kalau skala ekonomis dunia, pabrik etilene akan lebih bersaing jika diproduksi dengan kapasitar 800 ribu sampai 1 juta ton per tahun, sehingga invetasinya pun lebih murah 15-20 persen. Ia mengakui, sebelumnya Indonesia menawarkan Jepang membangun pabrik etilene di negeri ini, karena sebagian besar produsen petrokimia di dalam negeri dimodali Jepang. "Mereka tidak berminat, karena takut dengan persaingan dari Singapura dan Timur Tengah yang memiliki kapasitas besar dan biaya produksi (etilene) nya lebih murah, sehingga pasar Indonesia bisa diserbu negara itu," katanya. Apalagi, bea masuk (BM) etilene hanya lima persen yang diperkirakan tidak cukup mampu menghambat laju etilene impor. Namun, Didie optimistis, produk etilene yang berasal dari diproduksi di Indonesia akan lebih bersaing setidaknya dari segi waktu dan kepastian pengiriman, apalagi jika kapasitas pabrik baru lebih besar 1,5 sampai 2 kali dari Chandra Asri sehingga biaya produksinya lebih bersaing. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007