Jakarta (ANTARA News) - Departemen Kehutanan (Dephut) perlu menerapkan kebijakan jeda tebang untuk menunjang pengelolaan program hutan lestari, kata Ketua Komisi IV DPR, Yusuf Faishal, di Jakarta, Jumat. "Selama ini, hasil hutan menyumbang kas negara senilai 2 triliun rupiah. Tapi pemasukan itu harus dibayar dengan mahal karena dampak dari eksploitasi hutan yang tak mengenal jeda atau istirahat dalam proses penebangan pohon-pohon," kata politisi Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) di DPR itu. Dia mengatakan, dengan eksploitasi yang tak mengenal jeda, maka penggundulan hutan berjalan drastis sehingga menyebabkan malapetakan, seperti banjir, tanah longsor di mana-mana. Menurut dia, ada beberapa tahapan kebijakan jeda tebang yang perlu diterapkan pemerintah. "Pertama, setiap tahun harus ada jeda dua bulan dalam penebangan. Kedua setiap lima tahun ada jeda enam bulan dan ketiga setiap 10 tahun ada jeda satu tahun dalam penebangan," ujarnya. Satuan atau periode lamanya jeda itu bisa diperlama jika memungkinkan untuk memberikan kesempatan bagi kondisi tanaman hutan melakukan pemulihan atau peremajaan sehingga deforestasi bisa dihambat kalau bukan dicegah, katanya. "Biaya penanggulangan banjir dan longsor serta kerugian materiil lainnya akibat petaka alam sangat besar, sehingga pemasukan dari sektor kehutanan bisa menjadi sia-sia kalau bencana itu makin masif skalanya di kemudian hari," kata Yusuf. Menurut dia, Dephut perlu memperbarui (melakukan "updating") data kehutanan karena data yang dimiliki selama ini kadaluarsa alias tertinggal 4 hingga 5 tahun. Kerusakan hutan terjadi di mana-mana, terutama di hutan lindung sehingga berpengaruh terhadap kawasan sekitar hutan. Banjir dan longsor di sejumlah kawasan terjadi karena daya dukung alam kian merapuh setelah penebangan pohon dilakukan tanpa mengenal jeda, katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007