Jakarta (ANTARA News) - Country Director PT EK Prima Ekspor Ramapanicker Rajamohanan Nair dituntut empat tahun penjara karena dinilai terbukti menyuap Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum pada Direktorat Jenderal Pajak Handang Soekarno sebesar 148.500 dolar AS.

"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mengadili perkara ini memutuskan terdakwa Ramapanicker Rajamohanan Nair terbukti bersalah sebagaimana diancam pidana dalam dakwaan alternatif pertama pasal 5 ayat 1 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Jaksa Penutnt Umum (JPU) KPK Ali Fikri dalam sdiang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Senin.

JPU meminta hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama penjara selama empat tahun ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.

Pemberian itu terkait dengan pengurusan sejumlah masalah pajak yang dialami oleh PT EKP, yaitu pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) periode Januari 2012-Desember 2014 dengan jumlah Rp3,53 miliar.

Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai (STP PPN) sebesar Rp78 miliar, Penolakan Pengampunan Pajak (tax amnesty), Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) pada KPP PMA Enam Kalibata dan Kantor Kanwil Dirjen Pajak (DJP) Jakarta Khusus.

Saat berupaya mengajukan "tax amnesty", PT EKP ditolak karena punya tunggakan pajak dalam STP PPN masa pajak Desember 2014 sebesar Rp52,364 miliar dan Desember 2014 sebesar Rp26,44 miliar.

Kepala KPP PMA Enam Johny pun memerintahkan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan atas nama PT EKP tahun pajak 2012-2014 karena adanya dugaan ekspor yang tidak benar dan penyalahgunaan faktur fiktif.

Rajamohanan kemudian bertemu dengan Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv pada 21 September 2016 dan menyampaikan permohonan pembatalan STP PPN kepada Dirjen Pajak.

Rajamohanan juga meminta bantuan rekannya Direktur Operasional PT Rajakbu Sejahtera Arif Budi Sulisyto agar bertemu dengan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi. Pertemuan terjadi pada 23 September 2016 ditemani oleh Direktur Utama PT Bangun Bejana Baja, Rudi Prijambodo Musdiono.

"Menurut keterangan saksi Ken Dwijugiasteadi pertemuan tersebut hanya membicarakan mengenai masalah tax amnesty pribadi saksi Arif Budi Sulistyo dan saksi Rudi P Musdiono sehingga saat itu Ken pada pertemuan tersebut menayangkan video film/slide tentang program tax amnesty di hadapan Arif dan Rudi. Keterangan Ken patut dikesampingkan karena tidak logis menurut hukum," tambah jaksa Ali.

Alasan pertama adalah terlalu berlebihan jika seorang Dirjen Pajak pada pertemuan yang dilakukan oleh orang pribadi, yaitu saksi Arif Budi Sulisyto dan saksi Rudi P Musdiono dan itupun baru sekali datang menghadap lalu dilakukan sosialisasi program "tax amnesty" (TA) dengan menayangkan video film tentang TA layaknya sosialisasi

TA kepada publik sebagaimana sedang gencar-gencarnya dikampanyekan oleh Kementerian Keuangan. Lagi pula Kemenkeu telah membentuk Tim 100 orang yang salah satu tugasnya adalah menyusun dan melaksanakan program sosialisasi TA tersebut.

Seharusnya saksi Arif Budi Sulistyo dan saksi Rudi P Musdiono berdasarkan hukum dianggap mengetahui (fictie hukum) tentang pelaksanaan dan tata cara pelaksanaan program TA sebagaimana disebut dalam UU Pengampunan Pajak.

Karena itu, pertemuan antara saksi Arif dan Rudi dengan Ken kami yakini tidak hanya membicarakan seputar TA pribadi saksi Arif dan saksi Rudi P Musdiono semata akan tetapi juga terkait dengan pembicaraan mengenai persoalan pajak yang sedang dialami PT EKP.

"Antara lain tidak bisa mengikuti TA karena STP PPN sehingga proses permohonan pembatalan STP PPN PT EKP bisa dipercepat," kata jaksa Ali.

Pada 4 Oktober 2016, atas arahan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, Muhammad Haniv memerintahkan Jhonny Sirait membatalkan surat pencabutan pengukuhan PKP PT EKP sehingga KPP PMA Enam mengeluarkan surat tersebut.

Dalam pertemuan di restoran Nippon Khanantara Rajamohanan, Chief Accounting PT EKP Siswanto dan Handang, Rajamohanan menjanjikan akan memberikan uang dengan jumlah 10 persen dari total nilai STP PPN senilai Rp52,36 miliar dan setelah negosiasi disepakati uang yang diberikan dibulatkan menjadi Rp6 miliar.

Uang Rp6 miliar itu sudah termasuk untuk Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv. Haniv lantas mengeluarkan surat Pembatalan Tagihan Pajak untuk masa pajak 2014 dan 2015 senilai total Rp78 miliar pada November 2016.

"Alasan Haniv memerintahkan saksi Hilman Flobianto agar menghubungi terdakwa setelah diterbitkannya surat keputusan pembatalan STP PPN PT EKP karena saat pertemuan terdakwa pernah menyampaikan akan mengajukan gugatan ke PTUN terkait SKP Nihil, menurut hemat kami mengada-ngada," kata jaksa.

Tidak bisa diterima logika hukum karena terlalu berlebihan jika kepala kantor wilayah DJP Jakarta khusus justru menginginkan pihak wajib pajak melakukan gugatan PTUN atas terbitnya produk administratif perpajakan yang dikeluarkan kantor pajak.

"Padahal Haniv adalah pengawas dan pembina terhadap kantor pajak tersebut," ungkap jaksa.

Apalagi Kepala KPP Enam Jhony Sirait kaget karena pada November sudah keluar surat keputusan pembatalan. Padahal STP PPN PT EKP diterbitkan kantor KPP PMA Enam pada sekitar awal September 2016.

"Handang di persidangan pun membenarkan mendapat pesan WA dan di persidangan menerangkan Rp6 miliar untuk Handang juga termasuk untuk Haniv," ungkap jaksa Ali.

Atas tuntutan itu, Rajamohanan akan mengajukan nota pembelaan pada 10 Maret 2017.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2017