Jakarta (ANTARA News) - Tim Ekonomi Pemerintah menyatakan, Indonesia tidak akan mengalami krisis ekonomi jika mampu mengatasi tiga hal, yaitu menjaga indikator makro, institusi keuangan yang kuat, dan tidak ada pematokan (peg) nilai tukar. Hal itu diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhannuddin Abdullah, di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat. Burhanuddin bersama tim ekonomi lainnya Menko Perekonomian Boediono, Menkeu Sri Mulyani, Menperin Fahmi Idris, Mendag Mari Elka Pangestu menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melaporkan situasi makro dan sektor riil dan nilai tukar. Menurut Burhanuddin, persyaratan itu pada saat sekarang ini tidak cukup untuk membuat krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997. "Makro ekonomi terjada secara baik, fiskal defisit terkelola dan terjaga dengan cukup menjanjikan, neraca pembayaran selama 6-7 tahun terakhi surplus dan dibandingkan masa-masa sebelumnya," kata Burhanuddin. Ia menjelaskan, pada tahun-tahun sebelumnya defisit cukup besar atau mencapai sekitar 2,2 persen dari GDP. "Institusi ekonomi Indonesia saat ini sudah lebih kuat, nilai tukar yang fleksibilitas saya kira cukup terjaga," katanya. Burhanuddin juga mengatakan banyak yang mengkhawatirkan akibat tukar rupiah yang terus menguat saat ini akan serta merta mendorong terjadinya arus dana keluar dari Indonesia yang jumlahnya sangat besar. "Kami melihat persoalan nilai tukar adalah persoalan regional bukan hanya di Indonesia tetapi juga terjadi di negara "emerging market"," ujarnya. Nilai tukar rupiah memang mengalami kenaikan sekitar 1,62 persen dalam beberapa bulan tahun 2007, namun dibandingkan kenaikannya masih lebih rendah dibanding Rupee India yang menguat 7,42 persen, Baht Thailand naik 4,5 persen, Ringgit Malaysia melonjak 3,7 persen, sedangkan Peso Pilipina naik 3,5 persen. "Dari situ terlihat bahwa rupiah masih cukup kompetitif dibandingkan dengan mata uang lainnya di regional," ujarnya. Dengan demikian diutarakan Burhanuddin, daya tahan ekonomi Indonesia masih cukup baik dibanding negara-negara lain, sehingga dengan pertumbuhan ekonomi, harga barang dan jasa yang stabil banyak pelaku ekonomi merevisi perkiraan kegiatan ekonominya menjadi lebih baik lagi. Indikasi bembaiknya ekonomi Indonesia juga disampaikan Menko Perekonomian Boediono yang menyebutkan, meski masih harus menunggu hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) namun tampaknya indikator moneter dan fiskal kuartal I 2007 menunjukkan perbaikan. Meski demikian, ia menjelaskan, beberapa hal yang perlu diwaspadai antara lain mengamankan persediaan komoditi, seperti beras dan minyak goreng, agar berada pada harga yang wajar. "Langkah-langkah untuk mengamankan komoditi beras agar pasok dan permintaannya cukup juga kita sampaikan kepada Presiden," ujarnya. Terkait rencana pemerintah impor beras, Boediono menjelaskan, sekarang belum dilakukan. "Itu akan kita lakukan untuk menjaga kestabilan harga. Sekarang sudah stabil tapi kita harus waspada setelah panen ini. Bulan Juni kita akan mengadakan review stok tambahan. Intinya mengamankan ketersediaan pangan bagi rakyat dengan harga," katanya. Menanggapi apresiasi nilai tukar rupiah, Sri Mulyani mengatakan, kecil kemungkinan terjadinya "reverse" atau pengalihan kembali dana di dalam negeri ke luar negeri. "Kalaupun ada 'reverse' sebenarnya itu mau pindah kemana? Karena sejauh ini instrumen keuangan masih bagus seperti SBI masih pada kisaran 8,75 persen. Demikian halnya Surat Utang Negara (SUN) masih bagus," tuturnya. "Makanya, setiap hari kita dan Bank Sentral dan pengusaha berusaha membuat mereka (pemilik modal) tetap di sini. Kalau bisa mengalihkan dana investasi yang telah ada di dalam negeri menjadi jangka panjang ke sektor riil bukan ke portofolio," ujar Sri Mulyani. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007