Jakarta (ANTARA News) - Komisi Yudisial perlu dipisahkan dari kekuasaan kehakiman dan menjadi institusi yang berdiri sendiri sehingga bisa menjadi institusi pengawas bagi semua penegak hukum termasuk pengawasan terhadap hakim konstitusi. Demikian kesimpulan pertemuan ahli hukum tata negara di Bukit Tinggi (Sumatera Barat) pekan lalu yang naskah kesepakatannya diperoleh di Jakarta, Sabtu. Pertemuan dihadiri 20 ahli hukum tata negara dari fakultas hukum berbagai universitas di Indonesia. Hadir antara lain Ardi Latifa dari Fakultas hukum Universitas Bengkulu, Armen Yasir dari Universitas Lampung (Unila), Dasril Rajab (Universitas Jambi), Denny Indrayana (UGM), Ernawati Munir (Universiats Andalas), Fajrul Falakh ( UGM), Firmansyah Arifin (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional/KRHN), Ilhamdi Taufik (Universitas Andalas), Irman Putrasidin (Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta), Iwan Satriawan (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), M Husnu Abadi (Universitas Islam Riau) serta M Soly Lubis dari Universitas Sumatera Utara (USU). Selain itu, Marwan Mas (Universitas 45 Makassar), Otong Rosadi (Universitas Eka Sakti Padang), Saldi Isra dan Suharizal (Universitas Andalas), Syairufudin Hasyim (Universitas Syah Kuala Banda Aceh), Yuliandri (Universitas Andalas) dan Zainel A Mochtar (UGM) serta Zen Zanibar (Universitas Sriwijaya). Para ahli hukum sepakat menetapkan empat hal dalam kesimpulannya, yaitu mengenai lembaga perwakilan rakyat, sistem pemerintahan, kekuasaan kehakiman serta otonomi daerah. Terkait kekuasaan kehakiman, para ahli hukum menyatakan, model kekuasaan kehakiman yang selama ini dijalankan dengan pembagian peran antara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Mahkamah Agung (MA) telah cukup baik. Namun, penempatan KY pada bab tentang kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 telah membawa implikasi lainnya, apalagi pasca putusan MK mengenai hal tersebut. Langkah yang sangat mungkin dipilih adalah mengeluarkan KY dari bab tentang kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945. Selanjutnya KY diperkuat dengan menegaskan fungsinya sebagai pelaku pengawasan terhadap seluruh hakim, termasuk hakim konstitusi. Tidak hanya itu, KY juga menjadi lembaga yang mengawasi semua lembaga penegak hukum. Hal lain adalah rezim "judicial review" sebaiknya disatuatapkan. Pemisahan kewenangan "judicial review" menjadi milik MK dan MA pada teori dan praktiknya sangat potensial menimbulkan keruwetan. Penetapan satu atap juga dilakukan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu, termasuk hasil pemilihan kepala daerah di MK. Begitu juga untuk memperkuat penjagaan hak-hak konstitusional warga negara, perlu kiranya diberikan kewenangan kepada MK untuk menangani permohonan "constitutional complaint". Selain itu, para ahli hukum menilai, cukup penting untuk mengeluarkan pembatasan terhadap ruang lingkup kekuasaan kehakiman yang ditentukan oleh konstitusi dalam peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara. Model ini adalah membatasi ruang kebebasan dalam membuat peradilan-peradilan khusus yang diidealkan untuk menjadi peradilan khusus pada perkara-perkara khusus.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007