Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mempertimbangkan permintaan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) agar Lapindo Brantas Incorporated membuka dokumen yang berkaitan dengan semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam replik yang disampaikan pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin, YLBHI meminta agar majelis hakim mengeluarkan perintah kepada Lapindo untuk membuka dokumen-dokumen perusahaannya agar penyebab semburan lumpur dapat diketahui. "Pembukaan dokumen itu penting agar persidangan ini mengetahui penyebab semburan lumpur yang sebenarnya," kata Taufik Basari dari YLBHI. Menurut dia, fakta insiden pengeboran yang menyebabkan semburan lumpur sebenarnya tercatat dalam laporan harian pengeboran Lapindo. Dokumen itu, lanjut dia, hanya dimiliki oleh Lapindo. "Untuk pengungkapan fakta yang sebenarnya, maka Lapindo sebagai turut tergugat wajib menunjukkan dokumen ini di depan persidangan dan tidak lagi menutup-nutupi fakta yang ada," tutur Taufik. Majelis hakim yang diketuai oleh Muchfri menyatakan akan mempertimbangkan permintaan YLBHI itu mengingat agenda pembuktian belum berlangsung. YLBHI dalam repliknya menyatakan Lapindo selalu menyalahkan gempa tektonik yang terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 sebagai penyebab semburan lumpur agar terhindar dari tanggungjawab. Padahal, menurut YLBHI, Lapindo menutupi fakta adanya insiden pengeboran serta rangkaian antisipasinya sejak 27 Mei malam hingga 3 Juni 2006. "Sejak awal Lapindo menyiapkan skenario gempa bumi. Skenario ini sudah dimunculkan sejak hari-hari awal semburan lumpur. Padahal, saat itu belum ada investigasi ilmiah yang menjelaskan penyebab sebenarnya semburan lumpur," tutur Taufik. Kesalahan Lapindo, menurut dia, diperkuat dengan adanya surat dari PT Medco Energy sebagai salah satu pemegang saham Lapindo, yang menyatakan bahwa Lapindo telah melakukan kecerobohan berat dalam insiden pengeboran. Surat No MGT-088/JKT/06 tertanggal 5 Juni 2006 yang ditujukan kepada Lapindo itu menyatakan adanya potensi persoalan akibat tidak terpasangnya casing dalam sumur sepanjang 5.447 kaki. "Dokumen ini dimiliki oleh Lapindo, dan untuk kepentingan umum serta pengungkapan kebenaran, selayaknya Lapindo menunjukkannya di muka persidangan," ujar Taufik. YLBHI menggugat Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Negara Lingkungan Hidup, BP Migas, Bupati Sidoarjo, Gubernur Jawa Timur dan Lapindo Brantas sebagai pihak turut tergugat. Penggugat menilai pemerintah telah lalai dalam menangani tragedi kemanusiaan lumpur panas Sidoarjo karena tidak mampu memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat. Akibat semburan lumpur panas di Sidoarjo, penggugat menyatakan, ratusan warga tidak dapat memenuhi nafkah keluarganya, dan tidak memiliki tempat tinggal, sehingga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mereka tidak terpenuhi.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007