Jakarta (ANTARA News) - Negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) yang mengikuti sidang Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) di Jenewa, Swiss, secara aklamasi menerima usul resolusi tentang mekanisme pembagian dan pengiriman (sharing) sampel virus flu burung yang diajukan Indonesia. "Hampir 100 persen usul yang diajukan diterima secara aklamasi," kata Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dari Jenewa ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu. Ia mengatakan usul yang dibuat dengan mengacu pada Deklarasi Jakarta tersebut akan disampaikan dan dimantapkan dalam pertemuan Dewan Eksekutif WHO pada 23 Mei 2007 serta selanjutnya akan menjadi bagian dari resolusi WHA yang mengikat semua anggota WHO. "Jadi otomatis selanjutnya akan menjadi bagian dari regulasi kesehatan internasional yang mengikat semua anggota," kata Siti Fadilah yang sejak 16 Mei lalu menghadiri sidang WHA yang diikuti 193 negara anggota WHO itu. Dengan demikian, anggota Dewan Eksekutif WHO itu menambahkan, selanjutnya negara miskin dan berkembang yang menjadi daerah jangkitan flu burung dijamin akan memiliki kesetaraan akses terhadap vaksin dan obat dari penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus influenza tipe A subtipe H5N1. Tak Berpihak ke Negara Miskin Menteri Kesehatan sebelumnya menjelaskan usul resolusi tersebut diajukan guna mewujudkan terbentuknya mekanisme pertukaran spesimen biologis baru yang lebih adil , karena ketentuan WHO mengenai pembagian dan pengiriman spesimen virus yang sudah berlaku sejak 50 tahun lalu tidak memihak kepentingan negara miskin dan berkembang. Ia mencontohkan, sejak kasus flu burung pada manusia ditemukan di Indonesia pada bulan Juli 2005, sesuai anjuran WHO dan dengan kesadaran akan pentingnya studi mendalam terhadap virus flu burung, maka pemerintah mengirimkan spesimen virus H5N1 strain Indonesia ke Laboratorium Pusat Kolaborasi WHO. Namun, ia mengatakan, dalam prakteknya WHO tidak konsisten dalam melakukan pertukaran virus sesuai aturan yang ditetapkannya. Virus, sekuens genetik dan bagian dari sekuens virus H5N1 dari Indonesia maupun dari negara-negara yang terjangkit flu burung yang telah diberikan kepada WHO, katanya, ternyata digunakan oleh pihak ketiga dalam bentuk presentasi, publikasi, komersialisasi dan pembuatan paten, tanpa ada pemberitahuan apa pun kepada negara pemberi spesimen bervirus H5N1. Akibatnya, menurut dia, negara-negara jangkitan tidak hanya menderita karena rakyatnya meninggal dunia akibat flu burung namun juga harus menghadapi kesulitan untuk mengakses obat dan vaksin flu burung yang harganya mahal. Padahal, menurut dia, virus dan materi genetik yang kepemilikannya ditentukan oleh Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Keragaman Biologi (Biological Diversity) itu semestinya semua dipertukarkan dengan menimbang hak khusus suatu negara terhadap sumber daya genetik yang dimilikinya. Kondisi itu, kata Siti Fadilah, sangat merugikan negara berkembang sehingga pemerintah Indonesia kemudian mengajukan usul rancangan resolusi perubahan mekanisme pertukaran virus flu burung kepada WHO. Rancangan mekanisme pembagian spesimen biologis tersebut antara lain berisi mekanisme baru yang memungkinkan negara berkembang memiliki kapasitas untuk mengakses data, meneliti dan memproduksi obat-obatan serta vaksin flu burung. Setiap negara yang membagikan informasi, data dan spesimen virus flu burung juga diusulkan mendapatkan keuntungan atas sampel yang mereka berikan serta memeroleh dukungan guna melakukan pengembangan dan produksi vaksin dan obat influenza ditingkat lokal.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007