Yogyakarta (ANTARA News) - Tindak lanjut kasus aliran dana "non-budgeter" Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang diberitakan diterima oleh para calon presiden (capres) dan tim suksesnya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 tidak perlu menunggu laporan dari masyarakat. "Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa keterangan terdakwa di depan sidang pengadilan adalah alat bukti yang sah," kata Ketua Pusat Kajian Anti (Pukat)-Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Denny Indrayana, Jumat. Menurut dia, dugaan tindak pidana yang mungkin didakwakan bukan merupakan delik aduan sehingga tidak perlu pelaporan dari masyarakat. Namun, ia menilai, yang penting pihak-pihak yang memberikan informasi untuk pengungkapan kasus itu harus diberikan perlindungan hukum yang sebenar-benarnya. Artinya, kata dia, kesaksian aliran dana nonbudgeter DKP yang diberikan dalam persidangan korupsi DKP harus diselidiki secara profesional dan independen. Jika terbukti kebenarannya, menurut dia, maka pihak-pihak yang menerimanya dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi atau pencucian uang. "Bahkan, presiden dan wakil presiden pemenang pilpres 2004 dapat di-'impeach', karena melanggar dua pasal, yaitu tindak pidana pencucian uang dan korupsi," katanya. Aparat penegak hukum, dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Polri harus aktif berkoordinasi dan segera menindaklanjuti kasus DKP tersebut. "Tidak justru pasif, saling menunggu, atau saling tunjuk dan saling menghindar untuk menangani kasus ini," kata dia. Terkait dengan dugaan tindak pencucian uang, kata Denny, proses pemeriksaan seharusnya sudah dapat segera dilakukan. Selain itu, aparat penegak hukum sebaiknya berkoordinasi dengan pihak terkait seperti KPU, Panwaslu, PPATK serta Kantor Akuntan Publik yang melakukan audit dana kampanye. "Pengaturan tentang sanksi dalam tindak pidana pemilu harus diperbaiki agar lebih tegas dan berat," katanya. Proses legislasi yang secara sengaja dan konspiratif melemahkan desain sanksi pidana pemilu harus diakhiri agar tujuan pemilu yang jujur dan adil benar-benar dapat terwujud. Ia mengatakan, dana kampanye yang koruptif akan menyandera hasil pemilu. Pemimpin yang terpilih dari dana bermasalah akan terjerat untuk memberikan "dividen politik" berupa jabatan politik, perlindungan kasus hukum atau investasi ekonomi. "Makna lain dari kasus DKP ini adalah, pengelolaan dana negara dengan konsep nonbudgeter terbukti sangat koruptif, karena itu harus dikaji ulang secara menyeluruh," kata Denny Indrayana. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007