Jakarta (ANTARA News) - Sebagai salah satu hutan hujan tropis terakhir di dunia, hutan Indonesia memiliki "koleksi" berbagai varietas pohon bernilai ekonomis tinggi, salah satunya kayu merbau (Intsia spp.). Awalnya, kayu merbau tumbuh di kawasan Afrika Timur hingga India Selatan, dan tersebar ke Asia Tenggara, Oseania, hingga Tahiti. Namun, kini habitat asli merbau terus terkikis dan tersisa dalam jumlah yang berarti di Pulau New Guinea, yang terdiri atas dua provinsi di Indonesia - Papua dan Irian Jaya Barat - yang dikenal dengan sebutan "Tanah Papua" di sebelah barat dan negara Papua Nugini (PNG) di sisi timur. Sama besarnya dengan Provinsi Sichuan di China dan negara bagian Kalifornia di Amerika Serikat, hutan Pulau New Guinea merupakan rumah bagi hampir lima persen keanekaragaman hayati dunia, termasuk ratusan spesies yang tidak dijumpai di tempat lain di planet ini. "Bagaikan Taman Firdaus yang Anda jumpai di muka Bumi. Kami menemukan puluhan, kalau tidak ratusan, spesies baru di tempat yang mungkin merupakan ekosistem paling murni di seluruh kawasan Asia Pasifik. Sangat banyak hal baru yang di luar dugaan," kata Dr. Bruce Beehler, wakil ketua ekspedisi ke New Guinea 2005 seperti dikutip dalam laporan Greenpeace tentang merbau Indonesia 2007. Namun, laju kerusakan hutan di Indonesia dan PNG telah demikian kritisnya. Indonesia dan PNG masing-masing telah kehilangan 72 dan 60 persen hutan-hutan tua utuh besar mereka, sementara sisanya kini terancam pembalakan liar dan pembukaan lahan. Menurut catatan Bank Dunia, hutan hujan yang kini tersisa di Indonesia akan habis sebelum tahun 2010 apabila industri pembalakan (liar) tidak dapat dikendalikan. Diperkirakan bahwa antara 76-80 persen pembalakan di Indonesia merupakan pembalakan liar, sementara di PNG Bank Dunia memperkirakan 70-80 persen kayu dari negeri ini adalah hasil dari pembalakan liar. Karena aksi pembalakan terjadi demikian masif di Indonesia, sangatlah sulit untuk mengukur secara akurat tingkat pengambilan merbau dari hutan-hutan Indonesia. Meski demikian, Uni Konservasi Dunia (UICN) telah mengklasifikasikan jenis kayu merbau sebagai "menghadapi resiko tinggi kepunahan di alam bebas dalam waktu dekat", dengan pembalakan dan penghancuran habitat sebagai ancaman-ancaman utamanya. Greenpeace memperkirakan kayu merbau akan tertebang habis dalam waktu 35 tahun ke depan dari seluruh hutan di Pulau New Guinea. "Saat ini 83 persen habitat merbau rusak, tinggal 17 persen lagi yang belum dirusak atau masuk blok tebangan. Tapi jangan lupa ada sekitar 68 HPH di seluruh hutan Papua yang bisa mempercepat proses kepunahan merbau di Indonesia," kata Hapsoro, juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara. Ia menilai bila semua pemenang HPH dan IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) di Papua beroperasi aktif, maka merbau akan semakin diburu dan lantas langka di "tempat perlindungan terakhirnya". Pada 1998, menurut laporan Badan Investigasi Lingkungan Hidup (IEA), Indonesia mengekspor sekitar 50.000 meter kubik merbau. Tapi angka itu melonjak drastis hingga 660.000 meter kubik pada tahun 2001. Sebuah peraturan larangan ekspor dikeluarkan pada 2001, namun gagal menghentikan pembalakan dan ekspor ilegal kayu merbau. Bahkan IEA menengarai merbau telah menjadi subjek eksploitasi ilegal tingkat tinggi di Tanah Papua, Indonesia. IEA dan Telapak (organisasi lingkungan non-pemerintah Indonesia) menyebut sekitar 3,6 juta meter kubik merbau telah dipanen secara ilegal lalu diekspor dari Tanah Papua pada tiap tahunnya. Permintaan Negara Maju Tak ada pohon lain yang menjadi sasaran "empuk" daripada pohon kayu merbau yang bernilai ekonomis sangat tinggi. Karena nilainya yang istimewa dan penampilan serta teksturnya yang sangat mewah, produsen kayu memandang merbau sangat ideal sebagai produk-produk lantai kayu, mebel, atap, pintu, lemari, dan produk perekatan kayu mewah lainnya. Warnanya yang berpendar keemasan dan kuat menjadikan harga merbau sebagai salah satu yang termahal, kira-kira sekitar 600 dollar Amerika per meter kubik. Hapsoro mengatakan bahwa hampir 90 persen merbau Indonesia "berakhir" di rumah-rumah orang kaya di negara maju, seperti Amerika dan Eropa. "Itu karena harga merbau yang sangat mahal," ujarnya. Merbau juga kerap dijumpai di toko-toko kebutuhan interior rumah di kota-kota besar China, seperti Beijing dan Shanghai. Selama satu dekade terakhir China telah muncul sebagai pasar terbesar merbau, "berkat" pertumbuhan ekonomi yang tak terduga besarnya. Ditambah dengan fakta kelangkaan sumber daya hutan domestik, China menjadi pengimpor terbesar di dunia untuk kayu bulat tropis termasuk di antaranya merbau. Singkat cerita, di sebagian besar negara di mana merbau awalnya banyak tumbuh kini hanya tersisa sedikit saja merbau sebagai tegakan alami. Sebagai genus yang memiliki 9 spesies, pohon merbau dapat tumbuh sangat besar - mencapai tinggi hingga 50 meter dan diameter batang 2,5 meter. Batang merbau tidak bercabang hingga setengah julangannya. Secara umum merbau tumbuh sangat lambat dan membutuhkan setidaknya 75-80 tahun untuk menjadi pohon dewasa. Karena pertumbuhannya yang sangat lamban itu, merbau belum ditanam di hutan sebagai tanaman komersial. Selain tumbuh secara lambat, merbau juga jenis yang langka dan jarang di hutan alami. Kepadatannya dalam tiap hektare hutan alami adalah sekitar 5-10 pohon saja. Bahkan mayoritas merbau hanya ada di kerapatan satu hektare-satu pohon. Walaupun industri pembalakan hutan pada prinsipnya hanya tertarik untuk mengambil dan menjual merbau, pada akhirnya perburuan satu jenis kayu mengakibatkan penghancuran menyeluruh kawasan hutan, karena dibangunnya jaringan jalan pembalakan padat sementara pohon lain juga ditebang untuk mencapai daerah tumbuhnya merbau. Sebuah studi yang disponsori Uni Eropa menujukkan bahwa pada satu konsesi di PNG, untuk setiap pohon yang dipilih untuk ditebang sesungguhnya ada 45 pohon lainnya yang dirubuhkan (F. Brunois tahun 1999). "Kami mendesak agar Pemerintah Indonesia mendorong lahirnya kontrol internasional terhadap perdagangan kayu merbau di pasar dunia," kata Hapsoro. Menurut dia, kayu merbau harus segera dimasukkan ke dalam daftar Lampiran Konvensi Perdagangan Internasional Spesies terancam punah (CITES), dengan kuota yang secara keras membatasi perdagangan merbau yang tengah menuju kepunahan. Pemerintah dan Sekretaris CITES, lanjut Hapsoro, harus segera meneliti kemungkinan peningkatan status merbau dalam lampiran Konvensi CITES pada pertemuan CITES tahun 2009, demi pengamanan populasi tanaman tersebut dari aktivitas pembalakan besar-besaran di Indonesia dan PNG. "Para pemerintah negara-negara di mana merbau ditemukan juga harus segera ikut dalam proses perencanaan tata ruang secara parsipatif, mengarah kepada pembentukan jaringan kawasan lindung berskala besar," kata Hapsoro merinci rekomendasi Greenpeace menghadapi ancaman kepunahan merbau. Ia mengatakan, seluruh pemerintah di dunia harus berpartisipasi dalam kerjasama internasional bilateral dan multilateral melindungi merbau, "Mereka juga harus melakukan tindakan terkait di dalam negerinya untuk menghentikan pembalakan liar dan melarang impor produk kayu hasil pembalakan ilegal." Salah satu upaya kontrol internasional, masih menurut Hapsoro, adalah dengan mewajibkan prosedur lacak-balak dari pihak ketiga yang terpercaya untuk memastikan bahwa pasokan resmi merbau terletak di luar hutan yang dilindungi. Selain itu upaya penegakan hukum di Indonesia, menurut Greenpeace, punya keberhasilan memerangi ekspor dan pembalakan liar yang sangat tinggi. Pada awal 2005 ketika Pemerintah Indonesia menggelar operasi melawan pembalakan liar, volume ekspor kayu bulat merbau ke China turun dratis dari 890.000 meter kubik tahun 2004 menjadi 60.000 meter kubik tahun 2006. Ini membuktikan bahwa pemantauan keras dapat secara ekstrim dan efektif memperlambat perdagangan kayu ilegal, termasuk kayu merbau.(*)

Oleh Oleh Ella Syafputri
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007