Padang (ANTARA News) - Penindakan kasus kejahatan ber-Internet (cyber crime) oleh jajaran Kepolisian Negara RI (Polri) sering mengalami hambatan, terutama saat menangkap tersangka dan penyitaan barang bukti. Dalam penangkapan tersangka, polisi sering tidak dapat menentukan secara pasti siapa pelaku kejahatan tersebut, kata Kepala Unit "Information Technology (IT)" dan "Cyber Crime", Badan Reserse dan Kriminal, Markas Besar (Mabes) Polri, Kombes Pol Petrus Reinhard Golose, dalam penjelasan tertulis di Padang, Rabu. Hal itu disampaikannya terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) yang tengah dilakukan DPR RI, serta kini dalam tahap sosialisasi kepada publik dengan melibatkan pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo). Ia menyebutkan, hambatan ini terjadi karena tersangka melakukan "cybers crime" melalui komputer ber-Internet yang dapat dilakukan di mana saja, tanpa ada yang mengetahui sehingga tidak ada saksi melihat langsung. Menurut dia, hasil pelacakan paling jauh hanya dapat menemukan IP addres dari pelaku dan komputer yang digunakan. Hasil itu akan semakin sulit, menurut dia, apabila tersangka melakukannya di Warung Internet (warnet), karena saat ini jarang pengelola warnet melakukan registrasi terhadap pengguna jasa. Dalam kondisi ini, Polri tidak dapat mengetahui siapa yang menggunakan komputer tersebut saat terjadi tindak pidana "cyber crime", ujarnya. Saat penyitaan barang bukti dengan banyaknya permasalahan, menurut dia, juga menyulitkan polisi, karena biasanya pihak pelapor sangat lamban melakukan pelaporan sehingga data serangan di "log server" sudah dihapus, dan biasanya terjadi pada kasus "deface". Akibatnya, penyidik menemui kesulitan dalam mencari log statistik yang terdapat dalam server, karena biasanya secara otomatis server menghapus log yang ada untuk mengurangi beban. Hal ini juga membuat penyidik tidak menemukan data yang dibutuhkan dijadikan barang bukti, sedangkan daftar (log) statistik merupakan salah satu bukti vital dalam kasus hacking untuk menentukan arah datangnya serangan, ujarnya. Petrus mengatakan, guna meningkatkan penanganan "cyber crime" yang kasusnya makin meningkat, maka Polri berupaya melakukan pembenahan personel, sarana prasarana, kerjasama dan koornidasi, sosialisasi dan pelatihan. Dalam hal personel, ia mengakui, Polri masih mengalami keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak bisa diabaikan. Untuk itu, Polri mengirim anggotanya mengikuti kursus penanganan kasus ini seperti ke CETS Canada, Internet Investigation di Hongkong, Virtual Undercover di Washington dan Computer Forensic di Jepang. Untuk sarana prasarana, Polri berupaya memperbarui teknologi informasinya dengan piranti fasilitas Encase versi 4 dan 5, CETS, COFFE, GSM Interceptor, GI2, GN 9000, DF dan Helix. Kerjasama dan koordinasi dengan pihak lain diupayakan bersifat bordeless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga bisa berkoordinasi aparat penegak hukum negara lain. Sosialisasi dan pelatihan juga dilakukan ke Kepolisian Daerah (Polda) dan penegak hukum lainnya (jaksa dan hakim), agar memiliki kesamaan tindak dan persepsi mengenai cybers crime terutama dalam pembuktian, penggunaan barang bukti, penyidikan, penuntutan dan pengadilan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, demikian Petrus Reinhard Golose. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007