Yogyakarta (ANTARA News) - Indonesia saat ini dinilai belum siap untuk membangun dan memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), kata Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Eko Sugiharto, di Yogyakarta, Jumat. "Selain biayanya yang mahal, mental bangsa Indonesia belum cukup siap untuk menggunakan PLTN," kata dia. Menurut dia, seharusnya harga tenaga listrik yang dihasilkan oleh PLTN bisa lebih murah, tetapi investasi untuk membuatnya yang sangat mahal. Investasi yang harus dilakukan untuk pembuatan PLTN lebih tinggi dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun dari ketiga alternatif pembangkit listrik tersebut, PLTN justru memiliki risiko pencemaran lingkungan yang paling rendah, katanya. Ia mengatakan pembangkit listrik yang paling murah dengan risiko pencemaran lingkungan rendah adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Namun saat ini PLTA tidak populer lagi karena permasalahan ketersediaan air. Penggundulan hutan mengakibatkan berkurangnya daerah resapan air, sehingga tingkat ketersediaan air juga semakin rendah, ujarnya. Selain mahal, katanya, hal yang membuat PLTN belum siap diterapkan di Indonesia adalah mental bangsa Indonesia. "Kalau korupsi masih membudaya di Indonesia, maka risiko kecelakaan yang akan timbul dari PLTN akan tinggi," kata dia. Menurut dia, dalam pembangunan dan pengoperasian PLTN tidak boleh ada toleransi seperti ketika membuat bangunan. Saat membuat bangunan, orang bisa saja mengurangi proporsi bahan bangunan dari yang seharusnya. Namun jika hal ini juga diterapkan pada pembuatan PLTN, akan menimbulkan bencana yang besar. "Tidak boleh ada sedikitpun toleransi dalam penggunaan bahan-bahan kimia," kata dosen Jurusan Kimia Fakultas MIPA UGM ini. Ia menambahkan biaya yang mahal untuk pembuatan PLTN perlu dikaitkan dengan kemampuan keuangan dalam negeri. "Jika pendanaan PLTN berasal dari luar negeri, dampaknya adalah harga listrik yang disalurkan ke masyarakat akan menjadi mahal," kata dia. Menurut dia, di beberapa negara Eropa harga listrik yang dihasilkan dari PLTN sangat murah, karena pembiayaan PLTN tersebut berasal dari dalam negeri. "Sehingga undang-undang tentang listrik harus mengatur tentang siapa yang berhak menentukan harga listrik," kata Eko. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007