Tangerang (ANTARA News) - Razia para preman terus berlanjut di wilayah Kota Tangerang, Banten, tidak akan dihentikan karena kehadiran mereka di berbagai tempat umum seperti di terminal maupun pasar tradisional di wilayah ini dianggap meresahkan. "Kami tidak pernah berhenti melakukan operasi penertiban para preman karena kehadiran mereka di lingkungan penduduk termasuk di berbagai tempat sarana umum sangat mengganggu," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Kota (Kasat Reskrim Polresta) Metro Tangerang, Kompol Suyudi Arya, saat dihubungi ANTARA News, Sabtu. Dia mengatakan, upaya penertiban preman dilakukan secara berkala dan berdasarkan hasil dari investigasi petugas serta bila adanya laporan dari penduduk. Pernyataannya tersebut terkait adanya informasi yang beredar tentang penghentian operasi penertiban preman di daerah ini akibat adanya suatu tekanan dari pihak tertentu. Dalam penertiban Jumat (8/6), polisi menangkap 98 preman di berbagai tempat terpisah dalam suatu operasi dengan melibatkan sebanyak 200 personel. Penertiban preman itu, katanya, agar warga dapat merasakan adanya kenyamanan dan ketentraman di lingkungan masing-masing, termasuk di kawasan perumahan. Demikian pula operasi itu digelar untuk mengurangi tingkat kriminalitas di wilayah ini, karena kebanyakan pelaku merupakan preman, ujarnya. Mayoritas preman yang tertangkap itu memiliki tato aneka warna dan beragam gambar binatang dan wanita seksi. Polisi juga melakukan pendataan terhadap preman yang tertangkap dan bila mereka nantinya terjaring langsung dijebloskan ke sel Mapolres Metro Tangerang. Setelah dilakukan pendataan polisi, maka para preman itu disuruh membuat surat pernyataan di atas materai, agar tidak mengulangi perbuatan tersebut. Ketika petugas menangkap preman di sejumlah kawasan, seperti di Karawaci, Jatiuwung, terminal bus Poris Plawad, Terminal Cimone, Pasar Anyar dan di Pasar Ciledug, ada di antara preman itu tengah beraksi memaksa meminta uang kepada sopir angkutan umum dan penumpang. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007