Jakarta (ANTARA News) - Anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Aria Bima, di Jakarta, Selasa, mengatakan politik ekonomi pemerintah dalam membela kepentingan rakyat kecil kembali diuji, terkait masalah melambungnya harga minyak goreng. Tak efektifnya operasi pasar yang berakibat terus melambungnya harga minyak goreng, telah membuat gusar rakyat kecil, termasuk dirinya, katanya. Selain kian memberatkan kehidupan rakyat kecil, hal ini juga dapat berimbas gulung tikarnya ratusan, bahkan ribuan, sektor usaha mikro makanan rakyat, katanya. Karena itu, ia minta pemerintah segera mengeluarkan regulasi yang mewajibkan produsen minyak sawit mentah mengalokasikan 10 persen produksinya bagi kebutuhan industri dalam negeri. Kewajiban ini menjadi prasyarat mereka dapat mengekspor, kata anggota partai oposisi pemerintah (PDI Perjuangan) ini. Seruan Aria Bima ini sejalan dengan fakta yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS). Selama April 2007, ekspor minyak sawit mentah (CPO) Indonesia naik 200 ribu ton dibanding bulan sebelumnya. "Akibatnya pasokan CPO lokal berkurang dan harga minyak goreng mulai April melonjak. Sementara itu, kesepakatan pemerintah dengan produsen minyak goreng dan CPO untuk melakukan operasi pasar juga gagal mengatasi persoalan," ungkapnya. Operasi pasar yang digelar produsen minyak goreng sejak awal Mei tak banyak berpengaruh, lantaran tak mampu menjangkau seluruh wilayah. Dari 24 kabupaten di Jawa Tengah, misalnya, menurut Aria Bima, hanya dua atau tiga kabupaten yang tersentuh operasi pasar. Akibatnya, harga minyak goreng saat ini terus merangsek naik. Di Jakarta saja awal pekan ini harga minyak goreng curah mencapai Rp9.000 hingga Rp9.500 per liter. Sedangkan minyak goreng kemasan sejak pertengahan Mei dijual di sejumlah pasar swalayan dengan harga nyaris Rp15.000 per liter. "Padahal sebelumnya harga minyak kemasan hanya Rp8.000 hingga p9.000 per liternya. Parahnya lagi, kenaikan yang semula hanya terjadi di kota-kota besar, kini menjalar ke kota-kota kecil dan pelosok desa. Hasilnya, kenaikan harga minyak goreng kini nyaris merata ke seluruh wilayah Indonesia," ulasnya. Situasi ini berakibat kian banyak rakyat kecil yang terimbas dampaknya. Karena itu, regulasi untuk mengatasi krisis minyak goreng ini dapat berupa peraturan pemerintah (PP) yang mewajibkan kalangan produsen CPO melindungi kebutuhan konsumen dan industri dalam negeri. Dalam hal ini, produsen wajib mengalokasikan 10 persen dari total produksinya masing-masing untuk pasokan lokal, kata Aria Bima. Namun, demikian Aria Bima, bagi mereka yang tidak menaati ketentuan kuota untuk dalam negeri 10 persen tadi, harus dikenai sanksi berupa denda atau bahkan dicabut izin ekspornya. Fenomena naiknya harga minyak goreng sekarang ini, menurutnya, tidak bisa dikatakan hanya bersifat sesaat. Sebab salah satu faktor pencetusnya, ialah meningkatnya permintaan CPO dunia bagi industri biodesel. Sehingga, kata dia, tidak benar jika fenomena tersebut didiamkan begitu saja akan normal kembali dalam waktu dekat. "Jika regulasi tadi ternyata tak juga ditaati kalangan produsen CPO, saya menyarankan pemerintah memakai alternatif terakhir. Yakni memerintahkan perusahaan perkebunan negara (PTPN) kelapa sawit memasok kebutuhan CPO dalam negeri. Pemerintah dapat memberikan subsidi untuk selisih harga jual dalam negeri dari harga jual ekspor bagi PTPN yang terlibat," sarannya. Kebijakan kuota CPO bagi kebutuhan dalam negeri, urainya, masih lebih baik daripada menaikkan pungutan ekspor (PE) yang belum juga direalisasikan pemerintah. Sebab, jika PE dinaikkan dari 1,5 menjadi 10 persen seperti dia usulkan dulu jadi diterapkan, tak mustahil harga CPO Indonesia kalah bersaing dari CPO Malaysia. "Padahal Malaysia adalah produsen CPO terbesar di dunia, sedangkan Indonesia nomor dua. Selain itu, kenaikan PE juga mendorong menguatnya penyelundupan atau, jika tidak, maka PE CPO yang tinggi akhirnya dibebankan pengusaha kepada petani plasma," katanya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007