Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (Sesmen BUMN), Said Didu, mengatakan bahwa dalam sebuah pertemuan terungkap bahwa selama ini justru perusahaan minyak goreng was-was menerima CPO dari PTPN karena belum ada landasan hukum yang jelas mengenai hal itu. "Justru perusahaan minyak goreng tidak bisa terima dari PTPN kalau tidak jelas dasar hukumnya," kata Said Didu di Jakarta, Selasa. Ia mengatakan, perusahaan minyak goreng, seperti terungkap dalam sebuah pertemuan, khawatir dan takut menerima minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dari Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN), salah satunya karena tidak mau dituduh menyalahi aturan. "Seperti pengalaman yang sudah-sudah, seperti kasus pengadaan pakan ternak semua pihak yang terkait jadi berurusan dengan hukum," katanya. Oleh karena itu, Said menganggap, persoalan tersebut lebih merupakan masalah hukum. PTPN saat ini memasok CPO kepada produsen minyak goreng sebanyak 4.430 ton dari yang sebenarnya ditargetkan 20.000 ton. Menurut Said, pada dasarnya PTPN telah siap memenuhi target tersebut. "Tetapi, ini lebih ke masalah hukum, jadi banyak yang tidak berani," katanya. Ia mengatakan, di negara mana pun komoditas strategis, termasuk minyak goreng, harus diatur lembaga negara, apalagi dalam hal ini Indonesia adalah negara yang besar. Ia merujuk pada Undang-Undang (UU) BUMN yang sangat jelas menegaskan bahwa bila pemerintah memberi penugasan, maka pemerintah juga harus menyiapkan dananya. "Namun, bila tidak kuat landasan hukumnya, seperti minyak goreng, ini yang sebenarnya bukan soal PTPN-nya, maka RUPS BUMN bersedia mengeluarkan," demikian Said Didu. Harga jual CPO PTPN Rp5.700 per kilogram, termasuk pajak pertambahan nilai ditambah ongkos pengolahan dan distribusi masing-masing Rp400 per kilogram. Selama program stabilisasi harga, pengelola CPO menyubsidi biaya produksi sebesar Rp325 per kilogram. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007