Jakarta (ANTARA News) - Sekira pukul 19.30 WIB, satu per satu penonton mulai memasuki Black Box Theater di Teater Salihara. Setelah tuan rumah menyambut kehadiran para penonton, dia kemudian mempersilahkan Chatib Basri untuk menyampaikan ulasan.

Dengan kemeja abu-abu tua dan celana bahan bahan berwarna senada dan sepatu kets putih, Menteri Keuangan Republik Indonesia 2013-2014 itu mengisi sesi pamungkas "Membaca Amerika Latin" yang mengulas dan menyimpulkan pembacaan Amerika Latin selama LIFEs berlangsung.

LIFEs merupakan festival sastra dan gagasan (Literature and Ideas Festival) yang dipersembahkan oleh Komunitas Salihara dalam rangka Bulan Bahasa. LIFEs tahun ini mengusung tema Amerika Latin yang dinilai menawarkan banyak gagasan penting dan dirasa selalu lantang dan menantang.

Dalam ulasannya, Chatib membahas tentang politik dan penulis Amerika Latin, mulai dari sejarah politik dan ekonomi di Peru hingga gelombang membanjirnya karya-karya sastra dari Amerika Latin yang dikenal dengan istilah "Latin American Boom", di antaranya memunculkan sosok penulis Mario Vargas Llosa.

"Menurut saya sebetulnya banyak yang kita harus pelajari dari Amerika Latin," ujar Chatib kepada ANTARA News, usai penutupan LIFEs di Jakarta, Sabtu malam (28/10).

Pasalnya, menurut profesor kehormatan di Australian National University 2016-2017 itu dinamika ekonomi politik Amerika Latin luar biasa dan Indonesia, memiliki banyak sekali kesamaan dengan negara-negara di Amerika Latin sana, mulai dari ekperimen negara yang "agak kiri" hingga perubahan pemikiran ekonomi.

Tidak hanya dari segi ekonomi, pengajar di Jurusan Ekonomi, Universitas Indonesia, itu juga melihat adanya persamaan dalam hal perubahan model pemerintahan.

"Pemerintahan militer ke demokrasi itu juga mirip dengan kita, untungnya kita lebih stabil," ujar dia.

Yang luar biasa, menurut Chatib, adalah kultur Amerika Latin yang bisa menghasilkan penulis-penulis luar biasa, termasuk Llosa.

"Seorang penulis di latin Amerika itu fungsinya banyak dia harus jadi moralist, essayist, dramatist, tetapi juga politisi," kata Chatib.

Keponakan sastrawan Asrul Sani itu melihat hal tersebut tidak jauh beda dengan kondisi kesusastraan Indonesia di era Pujangga Baru. Kala itu Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa masa depan di Indonesia harus mengarah ke barat dan sastra punya peranan sebagai agen perubahan.

Dengan kata lain, sastra mempunyai kewajiban dan tugas untuk memberi dampak kepada masyarakat untuk membuat masyarakat berubah.

"Hmm.. saya enggak sepenuhnya sependapat dengan itu," ujar Chatib.

Chatib agaknya mengamini pendapat Sutan Sahrir, yang menilai pemikiran STA tersebut bukan tidak mungkin justru membuat sastra berjarak dan teralienasi dari masyarakat.

Selanjutnya, pemikiran ketiga dari sekelompok sastrawan yang tergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka (yang dikenal sebagai pelopor Angkatan '45) berpendapat bahwa kesenian sudah cukup beban dengan -isme, ditambah ideologi, sehingga kesenian lebih baik mengembangkan diri dengan kebebasan.

"Dan saya melihat adanya kemiripan dari konflik ideologi ini juga terjadi di Amerika Latin antara Marquez dengan Llosa," kata Chatib.

"Kalau saya melihat biarin aja kalau penulis mengembangkan kreativitasnya," sambung dia.


Kedekatan dengan sastra

Chatib mengaku dari kecil sudah senang membaca sastra. Bukan semata-mata karena ia keponakan penyair yang menjadi salah satu pentolan Angkatan '45, "tapi saya senang saja bacanya," ujar dia.

Ketertarikan salah satu pendiri CReco Research Institute itu dalam bidang seni berlanjut saat di bangku SMA hingga saat menempuh pendidikan S1 di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

"Dulu saya main teater waktu SMA sampai kuliah. Dulu yang sama saya itu Tio Pakusadewa, Mira Lesmana, Dony Damara. Waktu itu kita main di TIM (Taman Ismail Marzuki) tahun berapa ya.. 1984-1985, sekitar pertengahan 80-an," kata Chatib.

Saat ditanya mengapa menyukai teater, Chatib menjawab, "Waduh, saya enggak bisa jelaskan. Kalau main teater berkesan semuanya."

Chatib mengaku pernah terlibat dalam pementasan sejumlah lakon, termasuk "Odiepus" dan "Bom Waktu" naskah karya Nano Riantiarno.

"Saya udah enggak mengikuti, makanya mau lihat lagi," kata dia menjawab pertanyaan apakah berniat kembali ke panggung teater.

Saat ini, selain menjadi dosen, Chatib menjadi anggota the Dewan Penasihat Bank Dunia untuk isu Gender dan Pembangunan. Dia juga menjadi anggota Dewan Penasihat Centre for Applied Macroeconomic Analysis. 

"Salah sekolahnya, mestinya saya sekolahnya itu ambil.. saya lebih tertarik dulu dengan teater dan sastra tapi terus masuknya ke sekolah ekonomi terus bagaimana?," ujar Chatib.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Gilang Galiartha
COPYRIGHT © ANTARA 2017