Jakarta (ANTARA News) - Menko Perekonomian Boediono menyatakan bahwa Undang-undang (UU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) merupakan aturan fundamental dalam hubungan antara aparat pajak (fiskus) dengan wajib pajak (WP). "Kalau hari ini disetujui oleh DPR, saya kira itu bagus karena UU tentang KUP itu sangat fundamental dalam mengelola atau mengatur hubungan antara aparat pajak dengan WP. Itu sangat penting," kata Boediono di Gedung Departemen Keuangan Jakarta, Selasa. Ia menyebutkan, selama ini masalah hubungan antara aparat pajak dengan wajib pajak banyak dikeluhkan oleh kalangan pelaku usaha sehingga dengan UU tentang KUP diharapkan dapat memberikan jawaban atas keluhan itu. "UU tentang KUP yang baru saya kira merupakan titik temu yang bagus. Kalau dilaksanakan dengan baik, saya kira suasananya akan lebih baik," kata Boediono. DPR melalui rapat paripurna di Jakarta, Selasa, menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang RUU) tentang Perubahan Ketiga UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi UU, kecuali Fraksi PAN yang menyetujui dengan keberatan. Fraksi PAN, melalui Ketua fraksinya Zulkifli Hasan, menyampaikan persetujuannya atas amandemen UU tersebut, dengan tiga keberatan, yaitu terkait dengan istilah WP yang dianggap tidak menciptakan perlakuan yang sama dengan aparat pajak, pembentukan Badan Penerima Perpajakan (BPP) untuk menggantikan Ditjen Pajak, dan terkait dengan proses pengajuan keberatan dan banding oleh WP. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan pendapat akhir pemerintah menyatakan, pihaknya memahami keberatan FPAN tentang proses pengajuan keberatan dan banding oleh WP, namun pemerintah berkeyakinan bahwa prosedur keberatan dan banding tersebut justru memberikan penguatan bagi perlindungan hak-hak wajib pajak dan lebih menjamin rasa keadilan bagi wajib pajak. "Berkenaan dengan `potential loss` (potensi ketugian) yang dikhawatirkan, pemerintah melakukan perhitungan secara objektif dan hati-hati sehingga penerimaan negara tidaklah hilang, tetapi memang dapat terjadi penundaan penerimaan," kata Menkeu. Menkeu menjelaskan, dengan UU sekarang, wajib pajak kecil kemungkinan mencoba mengajukan penundaan pembayaran dengan cara mengajukan keberatan atau banding karena ada resiko sanksi administrasi berupa denda 50 persen dalam hal keberatan ditolak dan 100 persen jika permohonan banding ditolak. Sedangkan terhadap keberatan FPAN tentang pembentukan BPP sebagai pengganti Ditjen Pajak, Menkeu menjelaskan bahwa pemerintah masih menganggap pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara masih harus dalam satu atap karena masih diperlukannya penyempurnaan dan penyerasian kebijakan, koordinasi dan perbaikan administrasi teknis dan operasionalnya. Selain itu juga diperlukan untuk efektifitas dan efisiensi proses dan hasil.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007