Jakarta (ANTARA News) - Pengakuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahwa Yerusalem ibu kota Israel akan menjadi bibit kekerasan di Timur Tengah, kata mantan kepala dinas intelijen Arab Saudi, Pangeran Turki al-Faisal.

"Itu keputusan yang buruk sekali. Konsekuensinya adalah akan memperbanyak pertumpahan darah dan konflik, ketimbang resolusi konflik," kata anggota senior keluarga kerajaan Saudi yang mantan duta besar Saudi untuk AS itu, kepada Reuters.

Trump menjungkirbalikkan kebijakan AS selama ini yuang berhati-hati menyangkut Yerusalem dengan malah mengumumkan AS mengakui Yerusalem ibu kota Israel dan akan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem, padahal kebanyakan negara di dunia menilai status Yerusalem harus ditentukan lewat meja perundingan.

Tak pelak Saudi mengecam keputusan Trump itu. Raja Salman bahwa mengancam Presiden Trump bahwa begitu AS memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem sebelum penyelesaian perdamaian yang permanen tercapai, maka keputusan itu akan membuat marah seluruh muslim di dunia.

Sayang, Saudi tidak menjabarlan langkahnya sendiri menghadapi keputusan Trump itu. Namun beberapa pejabat Palestina mengungkapkan bahwa Saudi diam-diam menekan Palestina untuk mendukung rencana perdamaian yang dipromosikan AS.

Menurut Palestina, Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas sudah merundingkan rincian tawar menawar dengan Trump dan penasihat yang juga menantunya, Jared Kushner, yang akan dibeberkan pada pertengahan 2018.  Dunia Arab menganggap rencana itu baru pada tahap dini.

Mengenai hal ini, Pangeran Turki mengaku tak mengetahui rencana perdamaian dari Pangeran Mohammed bin Salman itu.

Yang jelas Pangeran Turki menyebut manuver oportunistis Trump di Yerusalem tersebut akan membahayakan keamanan di Timur Tengah.





Pewarta: -
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2017