Jakarta (ANTARA News) - Indonesia lebih memperlukan konsep "Indonesia Incorporated", suatu konsep "trading house" yang bisa membawa Indonesia menjadi pemain di tingkat global, dibandingkan dengan pembentukan "superholding" alias induk perusahaan raksasa perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang arahnya belum jelas. "Menteri Negara BUMN menargetkan pembentukan superholding alias induk perusahaan raksasa perusahaan BUMN yang ditarget akan terealisasi tahun 2010. Gagasannya bagus tetapi belum jelas arahnya," kata pengamat ekonomi yang juga dosen Universitas Indonesia, Dr. Sutrisno Iwantono, di Jakarta, Jumat. Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu kurang setuju dengan pembentukan superholding BUMN, karena yang dijadikan referensi adalah KFW Jerman dan Temasek Singapura atau Khazanah Malaysia. "Perusahaan perusahaan itu lebih bersifat sebagai investor pada berbagai anak perusahaan. Pertanyaannya apakah yang dibutuhkan Indonesia seperti itu?," kata anggota Majelis Pakar Dewan Koperasi Indonesia itu. Iwantono mengatakan yang perlu dijadikan referensi sebenarnya adalah Sogo Shosha model Jepang. Sogo Shosha adalah ujung tombak pemasaran produk-produk Jepang ke seluruh dunia. Perusahaan ini dalam sejarahnya menjadi tumpuan pelaku-pelaku usaha kecil dan menengah untuk memasarkan produknya keseluruh dunia. "Kita memerlukan semacam Sogo Shosha yang bisa menjadi ujung tombak pemasaran produk Indonesia memasuki pasar global," katanya. Ia menjelaskan produk usaha kecil menengah sebenarnya banyak yang memiliki keunggulan komparatif untuk memasuki pasar luar negeri. Tetapi produk mereka umumnya skala kecil dan lemah dari sisi pengembangan produk (product development). Karena itulah mereka memerlukan bantuan dari perusahan "trading house" semacam Sogo Shosha yang bisa mengantarkan mereka memasuki pasar global. "Trading House" tersebut, katanya, berfungsi membangun "networking" (jaringan) pasar di berbagai kawasan perdagangan, misalnya untuk memasuki kawasan Eropa Barat. "Trading house" memiliki perwakilan dan infrastruktur pemasaran di sana, misalnya di Amsterdam. "Trading House" ini menampung hasil produksi usaha-usah kecil dan menengah dari Indonesia dan memasarkan secara langsung melakukan "networking" dengan pembeli di berbagai negara di Eropa. Dengan cara demikian, usaha kecil dan menengah dapat mengakses langsung "buyer" di Eropa dengan biaya yang murah. "Trading house" tidak mungkin didirikan oleh usaha kecil dan menengah, tetapi harus dibangun oleh pemerintah sebagai bentuk "public service" (pelayanan publik). Tetapi tentu saja ia harus bisa hidup dari hasil pedangan ini, katanya. "Trading house ini merupakan cikal bakal lahirnya perusahan skala besar yang bisa menjadi Multi National Corpoation (MNC), seperti misalnya Sumitomo, Marubeni, Itochu yang dalam sejarahnya memang seperti itu," katanya. "Karena itu, kita minta kepada Meneg BUMN untuk mendiskusikan konsepnya secara lebih luas dengan melibatkan berbagai "stake holders" (para pihak), sehingga konsep tersebut dapat dukungan serta dapat diimplementasikan," kata Iwantono. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007