Dalam kehidupan ini kita selalu diliputi oleh perasaan suka dan duka. Suka berarti bahagia karena mandiri, saat engkau menikmati kesendirianmu, engkau tidak lagi tergantung kepada sesuatu di luar diri, dan duka berarti sedih karena tidak dapat hidup mandiri sendiri. Tidak dapat menikmati keheningan selalu tergantung kepada sesuatu di luar diri. Kenapa kita berduka? Kenapa kita menderita? Karena perasaan kosong, kehampaan serta kesepian yang kita rasakan tidak pada tempatnya. Kita merasa kurang maka kita menderita. Saat ini jumlah mereka yang menderita jauh lebih banyak, lebih besar daripada mereka yang merayakan hidup. Yang kaya pun menderita, yang kesepian menderita, yang keramaian pun menderita. Yang kekurangan pun menderita, yang kelebihan pun menderita, yang beragama pun menderita, yang tidak beragama pun menderita. Saat ini kita melihat penderitaan di mana-mana, di setiap sudut kehidupan dunia. Bayangkan, ketika anda mulai berani jujur pada diri sendiri. Bahwa kitab suci yang ketika anda mencoba membaca terasa abstrak, acak dan tak terjangkau maknanya serta penuh kecurigaan dan ketidakmasukakalan. Anda mulai bertanya-tanya. Ketika kitab suci memanggil “wahai orang-orang yang beriman”. Benarkah anda termasuk di dalamnya? Apa yang bisa membuktikannya? Kapankah anda beriman? Mana buktinya? Lihat, diri anda sendiri penuh dengan stres, depresi dan kekecewaan dalam hidup ini. Sedangkan anda berkata bahwa saya telah beriman kepada Tuhan dan menjalankan segala perintahNya. Ternyata dalam kenyataannya semua itu sia-sia belaka tidak ada buktinya. Malahan anda telah berbohong terhadap diri sendiri. Anda telah mengingkari apa yang telah diucapkan, apa yang telah diimani, apa yang telah diperbuat. Semua saling bertentangan, dimana keyakinan mu itu? dimana keselamatan mu itu? Dimana kedamaian yang semua ada di dalam ajaran agama? Sedangkan kamu semua beragama sejak lahir sampai mati. Tetapi apa hasil dan buktinya di dalam kehidupan di dunia ini. Anda mulai tidak lagi merasa yakin bahwa anda tidak termasuk ke dalam kaum yang disebutkan tadi di atas. Ketika kitab suci berbicara tentang golongan manusia yang tersesat, anda menyangkalnya bahwa anda bukan termasuk golongan itu. Tetapi kenyataannya, anda termasuk ke dalamnya, apakah anda menyadarinya? Anda beragama malahan menjadi bingung, resah dan ragu. Lihatlah manusia beragama sekarang. Apakah menjadi semakin baik atau sebaliknya. Apakah anda melihat dan menyaksikan itu? Itulah resikonya kalau keyakinan dan agama yang dianut dikarenakan warisan. Bukan hasil usaha dalam pembuktian sendiri. Kalau anda tidak berubah dari sekarang, kapan akan berubahnya. Apakah anda akan tetap beriman dan berkeyakinan yang lari di tempat saja? Ingat waktu terus berjalan, tanpa berhenti, tanpa lelah. Kehidupan anda hanyalah makan, tidur, main, seks dan menumpuk ketakutan serta penderitaan saja. Anda banyak menyia nyiakan waktu dan kesempatan yang berharga ini. Maka, anda pun mulai mencari panutan, orang yang dapat anda jadikan pembimbing di dalam kehidupan anda. Mulailah anda mengikuti pendalaman dari ajaran agama dan keyakinan anda ini dan itu. Memaksakan diri untuk meraih serpihan makna yang mungkin tersirat di dalamnya. Tapi ternyata, setelah sekian lama anda tidak juga memperolehnya. Anda malah kebingungan, terjadilah pendangkalan dan pembodohan dimana-mana. Anda tidak akan bertemu dengan seorang panutan yang sesungguhnya, jika anda sendiri dalam keadaan bingung, serta penuh dengan kotoran-kotoran yang melekat di dalam diri anda yang menjadikan gelap gulita pandangan kesadaran anda. (Bersambung) *)Penulis adalah pencetus Gerakan Revolusi Hati Nurani, sekaligus pendiri Yayasan Sirnagalih yang aktif membina peningkatan kualitas diri manusia.

Oleh Oleh Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007