Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta segera membuat peraturan berisi acuan tentang kriteria merek dagang terkenal agar Indonesia tidak lagi dianggap sebagai wilayah rawan pembajakan merek-merek dagang terkenal. "Tudingan itu muncul karena sistem yang ada di Indonesia memungkinkan pihak yang sesungguhnya tidak berhak atas suatu merek, tetap mendapat perlindungan, bahkan dapat mempidanakan pihak yang sesungguhnya pemilik merek terkenal tersebut," kata Wakil Ketua Umum Indonesia Intellectual Property Society (IIPS), Dwi Anita Daruherdani, di Jakarta, Selasa. Menurut dia, belum adanya acuan mengenai merek dagang terkenal menyebabkan seringkali muncul kasus perebutan merek di Indonesia. Contohnya baru-baru ini, muncul kasus perebutan merek Prada antara Prada SA Italia dan warga Indonesia, kata konsultan Hak Kekayaan Intelektual Terdaftar ini. Dikatakannya dalam perkara tersebut Prada SA selaku pemilik merek Prada "tersandung" haknya untuk menggunakan mereknya di Indonesia. Hal itu terjadi karena berdasarkan bukti tertulis yang terdapat dalam Daftar Umum Direktorat Merek, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, pihak yang berhak atas merek Prada di Indonesia bukanlah Prada SA, melainkan seorang warga negara Indonesia, Fahmi Babra. WNI ini telah mengantongi sertifikat pendaftaran merek Prada yang dikeluarkan oleh Direktorat Merek Ditjen HKI. Dwi Anita mengemukakan Undang-Undang Merek yang berlaku di Indonesia menganut sistem konstitutif (first to file) atau sistem pendaftar pertama. Artinya, pihak yang pertama kali mendaftarkan mereknya pada Direktorat Merek adalah pihak yang paling berhak atas merek tersebut di Indonesia. Sistem itulah yang mungkin menjadi "celah kelemahan" bagi para pemilik merek terkenal yang tidak sesegera mungkin mendaftarkan mereknya di Indonesia. Pada saat ada pihak lain, baik disengaja maupun tidak disengaja, mengajukan permohonan pendaftaran merek -- yang mempunyai persamaan baik pada pokoknya maupun secara keseluruhan dengan merek terkenal miliknya -- sementara merek terkenal miliknya belum terdaftar di Direktorat Merek, maka pihak lain tersebut dapat memperoleh pendaftaran atas merek itu di Indonesia. "Kondisi seperti itulah yang menyebabkan Fahmi Babra memperoleh perlindungan atas merek Prada di Indonesia. Di sisi lain, pemakaian merek Prada oleh Prada SA di Indonesia akan dianggap sebagai pelanggaran hak atas merek dan dapat dikenakan sanksi pidana maupun perdata. Keadaan ini bisa memperburuk reputasi Indonesia di dunia," katanya. Menghadapi keadaan tersebut, menurut Dwi, sudah selayaknya pemerintah Indonesia segera mengeluarkan suatu peraturan yang dapat mengatur atau setidak-tidaknya memberikan acuan tentang kriteria merek terkenal. Namun sementara peraturannya belum ada, tentunya segala aspek yang terkait dalam perlindungan merek di Indonesia tidak semestinya "menelan bulat-bulat" pengertian "sistem pendaftar pertama" yang dianut oleh Undang-Undang Merek di Indonesia. Menurut dia, pendaftar pertama seharusnya bukan lantas "harga mati" bahwa pihak yang pertama kali mendaftarkan mereknya pada Direktorat Merek adalah pihak yang paling berhak atas merek tersebut di Indonesia. Akan tetapi perlu juga dilihat dari faktor-faktor lainnya, seperti misalnya keterkenalan merek tertentu, itikad baik dari pendaftar merek, ada tidaknya kemungkinan yang menyesatkan konsumen mengenai asal-usul barang dan sebagainya, katanya. Ia menilai, merek Prada tidak dapat dipungkiri adalah merek yang telah terkenal di dunia, termasuk Indonesia. Karena itu, keterkenalan suatu merek jangan dilihat dari berapa banyak masyarakat di seluruh Indonesia mengenal merek ini, namun harus dilihat juga dari pangsa pasarnya. Fakta tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menentukan apakah suatu merek adalah merek terkenal atau bukan. Harus juga dibuktikan bahwa perusahaan itu telah mengeluarkan investasi besar di Indonesia dan juga melalui usaha yang memakan waktu lama untuk melakukan promosi atas barang-barang dengan merek miliknya. Surat-surat keterangan yang diperoleh dari lembaga survei yang ada di Indonesia, artikel di media-media cetak yang menunjukkan keterkenalan merek, surat keterangan dari kedutaan besar negara Italia yang ada di Indonesia ataupun putusan-putusan pengadilan di dalam maupun luar negeri juga bisa menjadi bukti lain yang menunjukkan bahwa merek tersebut telah terkenal di dunia internasional. "Dengan adanya bukti-bukti yang sangat komprehensif tentunya dapat menjadikan semua pihak terkait dapat melihat keterkenalan merek bersangkutan, sehingga dapat memberikan perlindungan kepada merek tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek," ujarnya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007