Jakarta (ANTARA News) - Sekira 99 persen bangunan di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tidak memenuhi konsep konstruksi berkelanjutan (sustainable construction) sehingga boros energi dan cenderung tidak ramah terhadap lingkungan, karena menghasilkan emisi gas buang yang besar. "Pembangunan gedung dan bangunan di Jakarta hanya di bawah satu persen yang memenuhi konsep konstruksi berkelanjutan," kata pengamat arsitektur, Imelda Akmal, di Jakarta, Selasa. Imelda, yang Duta Holcim Award untuk program konstruksi berkelanjutan, memperkirakan bahwa hanya sekitar 10 bangunan di Jakarta yang sudah memenuhi konsep konstruksi berkelanjutan yang ramah lingkungan dengan tumpuan pada pengurangan dampak polusi dan mengurangi pemborosan energi. Diakuinya, dunia arsitektur Indonesia memang lambat peduli dengan masalah pembangunan bangunan dengan konstruksi yang berkelanjutan, sehingga sampai sekarang masih minim bangunan yang menggunakan konsep tersebut. "Sebagian bangunan dan perumahan di Indonesia masih mengutamakan fungsi, dan kalau punya uang banyak ingin lebih nyaman, serta menunjukkan eksistensi pemiliknya, belum memikirkan bangunan dengan konstruksi berkelanjutan yang ramah lingkungan untuk masa depan," ujarnya. Kondisi itu, lanjut dia, juga terlihat dari minimnya arsitek yang menggunakan konsep bangunan yang ramah lingkungan kepada para kliennya. Menurut dia, dari sekitar 4.000 arsitek di Indonesia, hanya empat orang yang saat ini menekuni konsep konstruksi berkelanjutan tersebut, di antaranya Adi Purnomi dan Eko Prawoto. "Tapi saya yakin gerakan kecil ke arah pembangunan bangunan berkelanjutan tersebut ada dimana-mana, seperti yang saya temui di Pesantren Darut Tauhid," ujarnya. Sementara itu, Manager Sustainable Construction PT Holcim Indonesia Tbk, Alex Bueci, mengatakan bahwa dalam konsep konstruksi berkelanjutan, desain bangunan memegang peranan penting. Ia mengemukakan, konsep konstruksi berkelanjutan bisa menekan biaya sedikit lebih tinggi atau sekitar 3 % hingga 7 %, tergantung dimana gedung itu dibangun di Indonesia, namun dampak jangka panjangnya, mampu mengurangi biaya operasional bangunan tersebut. "Desain adalah bagian yang penting dari bangunan. Dampak dari konstruksi berkelanjutan dalam kehidupan gedung tersebut sangat besar, karena manusia yang tinggal di situ bisa 24 jam dan mengeluarkan emisi gas buang CO2 yang memberi kontribusi polusi 95 persen dari gedung tersebut," katanya. Oleh karena itu, lanjut Alex, pihaknya mengembangkan konsep konstruksi berkelanjutan agar bangunan yang ada di Indonesia maupun di dunia mampu mengurangi konsumsi energi, kontribusi polusi, dan lebih ramah lingkungan, untuk masa depan yang berkelanjutan. Lebih jauh ia mengatakan konstruksi dan penggunaan bangunan menggunakan 50 persen sumber daya alam, 40 persen energi, dan 16 persen air. Hal itu, kata dia, menyebabkan pembangunan bangunan dan perusakan bangunan menyumbang lebih banyak limbah dibandingkan limbah rumah tangga. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007