Jakarta (ANTARA News) - Dirut Bursa Efek Jakarta, Erry Firmansyah, meminta agar pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dalam pemberian dividen hanya diberlakukan satu kali, yaitu kepada pemegang saham dan tidak lagi kepada perusahaan. "Pengenaan pungutan atas dividen diberlakukan satu kali secara final terhadap pemegang saham individu," kata Erry, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pansus Pajak PPh dan PPN, di Jakarta, Rabu. Selama ini, katanya, PPh yang dikenakan atas dividen mencapai 54,5 persen, yang terdiri atas 30 persen bagi perusahaan dan 24,5 persen bagi pemegang saham. "Jika kita tidak memberikan insentif, maka bursa kita tidak akan menarik, karena bursa-bursa di negara-negara luar berlomba-lomba menarik perusahan Indonesia mencatatkan saham di sana," katanya. Selain insentif PPh dividen, Erry juga mengusulkan diberlakukan PPh khusus melalui PP untuk perusahaan SPV. Sedangkan terhadap reksadana, BEJ mengusulkan dikenakannya PPh final pada saat bagi hasil dan/atau redemption. "Untuk transaksi produk baru, diberikan perlakuan khusus melalui PP sesuai dengan prinsip perpajakan di bursa seperti Real Estate Investment Trust (REIT) dan Efek Beragun Aset (EBA)," katanya. Menurut Erry, pasar modal merupakan sarana untuk menumbuhkan perekonomian Indonesia, karena belum ada yang mampu memberikan pembiayaan jangka panjang selain pasar modal. "Perbankan pun belum mampu karena mereka membasiskan sumber dananya dari deposito yang jangka pendek. Jadi kalau perusahaan mau cari pendanaan jangka panjang dan murah adalah di pasar modal," katanya. Menurutnya, keengganan perusahaan untuk mencatatkan diri mereka di Bursa Efek adalah karena transparansi mereka yang lemah. "Mereka punya pembukuan lebih dari satu agar pembayaran pajak lebih kecil. Sementara kalau masuk pasar modal kan harus transparan," ujarnya. Bahkan, menurutnya, rata-rata pengusaha hanya membayar 5-10 persen dari total kewajiban pajak mereka. Kurang kompetitif Dijelaskannya, beban pajak yang ditanggung oleh emiten Indonesia kurang kompetitif dibanding bursa di negara-negara tetangga, seperti Singapura yang sudah menurunkan pajak dari sekitar 17-20 persen, demikian pula dengan China dan Malaysia yang sudah mulai mengarah ke penurunan pajak. Dia melanjutkan upaya BEJ untuk mengembangkan produk-produk baru, seperti Real Estate Investment Fund (REIT), Exchange Traded Fund (ETF), efek beragun aset (EBA) dan produk-produk syariah masih terkendala oleh masalah pajak. "REIT di indonesia pada awalnya saja sudah kena pajak 15 persen di depan. Padahal di Singapura tidak. Ini yang menyebabkan kenapa pembangunan properti di Singapura sangat marak," ujarnya. Padahal, jelasnya, REIT ini bisa jadi alternatif pembiayaan yang cukup bagus bagi pengusaha properti. "Sedangkan produk-produk syariah tidak bisa dijalankan karena kena PPN saat pengalihan aset," ujarnya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2007