Jakarta (ANTARA News) - Menteri Negara Koperasi dan UKM, Suryadharma Ali, mengatakan, bila menilik aturan-aturan yang ada saat ini tentang hapus tagih utang termasuk Kredit Usaha Tani (KUT) maka diperlukan waktu sekurang-kurangnya dua tahun untuk memutihkan kredit tersebut. "Ada banyak aturan yang harus dilihat menyangkut pemutihan KUT jadi kalau kita mengikuti aturan yang ada sekurang-kurangnya dua tahun baru bisa selesai," kata Suryadharma Ali, di Jakarta, Rabu. Pada Maret 2008, Presiden RI telah setuju untuk melakukan hapus tagih terhadap utang-utang KUT tetapi hingga saat ini belum juga terealisasikan. Menteri mengatakan, melakukan proses hapus tagih KUT pada kenyataannya tidak semudah yang diharapkan banyak pihak, karena terbentur berbagai macam aturan. "Kita berhadapan dengan aturan-aturan di antaranya aturan tentang bagaimana cara penghapusan piutang pemerintah misalnya harus dinyatakan bangkrut dulu atau dinyatakan sebagai utang yang tertagih," katanya. Untuk saat ini, kewenangan untuk penyelesaian proses pemutihan KUT ada di tangan Departemen Keuangan sebagai otoritas dan pemegang kebijakan tentang hal itu. Tidak segera ditindaklanjuti rencana pemutihan itu telah membuat sejumlah koperasi masuk daftar hitam Bank Indonesia (BI) sehingga sulit mengakses pembiayaan perbankan untuk pengembangan usahanya. Selain itu, koperasi-koperasi tersebut juga kerap menjadi obyek tindakan negatif para oknum yang memanfaatkan kondisi tidak menguntungkan itu. Dari 138 ribu koperasi yang turut serta program KUT tercatat hanya sekitar 2.000 koperasi yang tidak melunasi pinjamannya karena berbagai sebab. Secara keseluruhan dana KUT sebesar Rp8,33 triliun yang telah kembali ke pemerintah adalah sebesar 26,05 persen. Menurut laporan Badan Pengawas dan Pembangunan (BPP) pada 1999, penyimpangan KUT hanya sebesar 7 persen. Pada awalnya KUT merupakan tindakan yang diambil dalam masa krisis sehingga penilaian program tersebut pada saat ini harus dilakukan secara menyelurah dan terintegrasi. KUT salah satunya merupakan program untuk mencegah migrasi penduduk dari desa ke kota karena kelangkaan likuiditas di pedesaan. Kelangkaan likuiditas tersebut dikhawatirkan akan memperpanjang situasi yang semakin mengarah pada kerusuhan. KUT juga ditujukan untuk membantu peningkatan produktivitas pangan yang ketika itu Indonesia menjadi negara pengimpor 5,2 juta ton beras pada 1998. Program itu juga bertujuan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja padat karya sekaligus sebagai upaya pengamanan sosial yang produktif dan edukatif. Selang pascaprogram digulirkan, Indonesia berhasil menurunkan impor beras dengan tingkat inflasi yang semula 70 persen pada 1998 menjadi hanya 2 persen pada 1999, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar dari Rp17.500 menjadi Rp6.500.(*)

Pewarta: kunto
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2009