Surabaya (ANTARA News) - Penerbitan Obligasi Daerah (municiple bond) guna memperoleh alternatif pembiayaan pembangunan hingga kini masih sebatas niat, belum sampai ada tindakan riil, kata Direktur Perdagangan PT Bursa Efek Surabaya (BES), Guntur T. Pasaribu. "Niat dari Pemerintah Daerah sudah ada, tapi dokumen belum," ujarnya di sela-sela sosialisasi kebijakan penerbitan obligasi daerah di Surabaya, Jumat petang. Menurut dia, peraturan mengenai penerbitan Obligasi Daerah sudah memadai baik Undang-Undang berikut peraturan pelaksananya. Bahkan, BES juga telah mengeluarkan Paraturan Pencatatan Obligasi Daerah yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor SK-010/DIR/BES/V/3007. Namun, ia mengemukakan bahwa untuk menerbitkan obligasi tersebut belum banyak daerah yang memahami secara detail, apalagi yang bersifat teknis. Karenanya, BES berusaha melakukan sosialisasi ke daerah-daerah. Obligasi Daerah, kata Guntur, alternatif pembiayaan yang prospektif untuk menjadi pendorong perkembangan pembangunan daerah seperti membangun pelabuhan, membangun jalan tol, membangun pasar modern dan lain sebagainya. Pemerintah Daerah, menurut dia, sejak diberlakukannya otonomi daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya. Tapi, ia menilai, tidak jarang Pemerintah Daerah menemui keterbatasan dalam sumber pendanaan, karena sebagian besar daerah kabupaten/kota bergantung kepada dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat, sedangkan pemasukan dari Pendapatan Asli Daerah juga terbatas. Guntur mengemukakan, dengan keluarnya UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, telah memungkinkan Pemerintah Daerah melakukan pinjaman. Sementara itu, alternatif pembiayaan Pemerintah Daerah yang dapat dilakukan melalui pasar modal adalah menerbitkan saham atau obligasi korporasi (Badan Usaha Milik Daerah) serta penerbitan obligasi daerah oleh daerah. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Tapi, pemerintah daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri (tidak berlaku dalam hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena kegiatan transaksi Obligasi Daerah). Kendati demikian, Guntur mengatakan bahwa penerbitan Obligasi Daerah juga perlu pembatasan dalam nilai seperti telah diatur dalam aturan batas maksimal penerbitan Obligasi Daerah. "Proyek-proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah juga harus yang berorientasi profit, bukan sosial. Sebab, biaya itu harus dikembalikan," ujarnya. Guntur optimistis Obligasi Daerah akan diminati pasar seperti halnya sudah di AS. Apalagi, di Indonesia, pasar obligasi pemerintah atau Surat Utang Negara (SUN) maupun obligasi korporasi saat ini juga diminati pasar. "Untuk obliasi pemerintah, contohnya ORI-1 dan ORI-2 yang peminatnya sangat besar," kata Guntur menambahkan. Direktur Pinjaman, Hibah dan Kapasitas Daerah, Ditjen Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan, Adriansyah, dalam kesempatan itu mengakui bahwa penerbitan aturan mengenai Obligasi Daerah diharapkan dapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan di daerah. Dengan demikian, ia menambahkan, nantinya dapat mendorong pertumbuhan pembangunan di daerah yang membutuhkan alternatif pembiayaan. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007