Jakarta (ANTARA News) - Bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) rawan terhadap tumbuhnya kredit macet yang lama karena adanya hambatan perundang-undangan, kata Direktur Utama Bank BNI, Sigit Pramono. "Ini memang sudah karakteristiknya bank-bank BUMN kalau menangani kredit macet (NPL). Ini tidak memberikan `haircut` pokok, sehingga ini menjadi kendala bank BUMN menangani NPL," ujarnya dalam Diskusi Panel "Strategi Pengembangan Bank BUMN" di Tangerang, Banten, Jumat. Hal ini, menurut Sigit, karena adanya panafsiran yang berbeda-beda terhadap PP 33 Tahun 2006. "Yang menjadi persoalan selama ini karena belum jelasnya eksekusi melalui PP itu. Kalau dipotong bisa merugikan negara, bisa dianggap korupsi. Itu yang menjadi persoalan selama ini. Itu yang membuat bank pemerintah tidak selincah bank swasta dan bank asing dalam melakukan restrukturisasi kredit bermasalah," katanya. Ia menjelaskan, jika bank swasta bisa melakukan amputasi terhadap kredit yang bermasalah, maka di bank BUMNhal itu susah untuk dilakukan. Kalau ada yang "debt over hang" dulunya punya utang satu juta dolar equivalen dengan Rp250 miliar sebelum krisis, sedangkan sekarang menjadi sekitar Rp10.000 per satu dolar Amerika Serikat (AS), atau utangnya meningkat empat kali lipat. "Kalau di swasta, 75 persennya akan di-'hair cut', sedangkan di bank pemerintah tidak bisa karena kompleksitas masalah," katanya. Hal ini mengakibatkan kredit macet masa lampau masih membebani bank-bank BUMN. "Banyak kredit-kredit bermasalah yang kita temukan di masa lalu, kalau ekonomi memburuk bisa menjadi NPL kembali, karena tidak tuntas," katanya. Menurut dia, jika disamakan kinerja bank swasta, maka kinerja bank BUMN akan sangat cepat. Sementara itu, menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Muliaman D. Hadad, kinerja bank BUMN saat ini lebih rendah daripada bank lain. "Gross" NPL bank pemerintah mancapai 16,3 persen (Oktober 2006), sedangkan bank swasta 3,4 persen. Menurut Muliaman, tingginya NPL karena kredit hasil restrukturisasi yang dibeli dari BPPN kualitasnya memburuk. Ia mengatakan, tata kelola yang lemah di masa lalu menyebabkan kecenderungan untuk memberikan kredit tanpa pertimbangan komersial. Selain itu, kinerja bank-bank BUMN juga memiliki kelemahan dalam keahlian inti bank (core banking sill). "Tidak fokusnya bank BUMN membuat bank-bank BUMN memliki kinerja yang masih lemah," katanya. Untuk itu, menurut dia, BI akan mendorong bank-bank untuk mengefektifkan implementasi PP 33 tahun 2006, perbaikan tata kelola, serta perbaikan keahlian inti bank. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007