Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Pertanian bersama Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) siap mengembangkan konsep pertanian konservasi di Sulawesi Tengah guna mendukung Upaya Khusus (upsus) jagung di lahan kering.

Hal ini terungkap dalam acara "Sosialisasi Pertanian Konservasi di Sulteng", di Kantor Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Palu, Senin.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah, Trie Iriany Lamakampali, memaparkan lahan kering di Sulteng sekitar 5 juta ha dimana 600-700 ribu ha diantaranya mampu digunakan untuk pengembangan lahan pangan termasuk jagung.

Pertanian konservasi, tambahnya, diharapkan dapat menghidupkan lahan tersebut, sehingga bisa mendukung pencapaian target luas tambah tanam tanam dan produktivitas dalam kegiatan UPSUS, terutama jagung.

Kepala Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) Balitbangtan, Kementan Dedi Nursyamsi menjelaskan pentingnya pelestarian fungsi air dan tanah dalam pembangunan pertanian.

Penggunaan bahan organik dapat menjaga tanah tetap lembab karena sifat bahan organik yang memegang air.

"Bahan organik itu mampu menahan air hingga 3-10 kali lipat dari dirinya sendiri. Bisa dibayangkan bila kita benamkan bahan organik 1 ton/ha ke dalam tanah, berarti ada persediaan air di tanah hingga 1000 liter air yang nantinya dapat digunakan tanaman terutama di musim kering.

Dedi yang juga penanggung jawab Upsus di beberapa kabupaten di Sulteng itu mengatakan bahwa konservasi air dan tanah merupakan komponen utama dalam "Sistem Pertanian Konservasi".

"Pengelolaan bahan organik yang benar, selain dapat mengkonservasi fungsi air dan tanah, juga akhirnya dapat meningkatkan kesuburan tanah yang akhirnya meningkatkan produktivitas dan produksi yang merupakan tujuan utama program UPSUS Kementan," katanya.

Pada kesempatan tersebut Dedi juga menghimbau staf dan penyuluh Distanprov Sulteng untuk mengenali karakteristik sumberdaya di wilayah Sulteng.

Sementara itu Ketua Tim FAO Indonesia Ujang Suparman mengatakan, implementasi pertanian konservasi di lapang adalah olah tanah terbatas, penutupan permukaan tanah oleh mulsa atau civer crop, serta adanya rotasi/tumpang sari.

Olah tanah dilakukan dengan perbaikan struktur tanah, misalnya dengan membuat alur tanam atau lubang tanam permanen.

Lubang tersebut, lanjutnya, nantinya diisi dengan biochart, kompos, atau pupuk organik sehingga meningkatkan bahan organik tanah.

Penutupan permukaan tanah dilakukan dengan pemanfaatan sisa tanaman yang berfungsi mempertahankan kelembaban, mencegah erosi, dan menekan gulma.

Rotasi atau tumpang sari dapat menggunakan tanaman kacang-kacangan atau legume sehingga hara dan bahan organik tanah dapat ditingkatkan.

Ujang menyatakan, pertanian konservasi merupakan upaya berkelanjutan yang hasilnya baru dapat dilihat dalam jangka panjang. Lebih lanjut Ujang memaparkan implementasi pertanian konservasi di NTT dan NTB selama tiga tahun.

Hasilnya terlihat nyata, bahkan penduduk aslipun melihat langsung hasil teknologi ini dan mulai menirunya. Pokoknya inti pertanian konservasi adalah seluruh lahan tertutupi tanaman dan mulsa tutur Ujang sambil menunjukan keberhasilan demplot pertanian konservasi di NTT dan NTB.

Pewarta: Subagyo
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2018