Semarang (ANTARA News) - Kekhawatiran terjadinya kebocoran reaktor nuklir pada pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) menjadi alasan sebagian warga Jepara, Jawa Tengah menolak rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara, Jateng. Sejumlah warga Jepara, Selasa mengatakan, meski pemerintah sudah menjelaskan bahwa teknologi PLTN yang akan dibangun di Jepara itu memiliki tingkat keamanan tinggi, tidak berarti meniadakan kemungkinan terjadinya kebocoran reaktor. Dyah Ratnaningsih (45), warga Kelurahan Panggang, Jepara mengatakan, insiden kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl merupakan pengalaman buruk dalam sejarah manusia di abad modern dan tidak ada jaminan bahwa tragedi Chernobyl merupakan yang terakhir dalam sejarah kebocoran PLTN. Menurut dia, pemerintah seharusnya mendengar aspirasi masyarakat Jepara, Kudus, dan Pati, yang secara geografis dekat dengan lokasi PLTN Semenanjung Muria, sebab bila terjadi kebocoran reaktor, risiko terbesar akan menimpa warga tiga kabupaten ini. Helmy Yunan Zakaria (40), warga Kelurahan Saripan, Jepara menentang rencana PLTN karena sesungguhnya Indonesia memiliki sumber energi alternatif melimpah namun sampai sekarang belum dimanfaatkan secara optimal untuk kemaslahatan yang lebih besar. "Sinar Matahari hampir ada di sepanjang tahun, namun tenaga surya ini belum juga dimanfaatkan secara massal. Begitu pula angin, air, panas bumi, dan biofuel," katanya. Menurut lulusan UGM Yogyakarta itu, pemerintah semestinya mengalokasikan dana memadai untuk pengembangan teknologi alternatif berbasis sumber energi lokal yang murah dan aman, bukan malah memaksakan PLTN. "Siapa bisa menjamin 100 persen bahwa PLTN itu aman. Di Jepang dan Perancis yang masyarakat lebih disiplin saja bisa terjadi kebocoran reaktor. Kita bukan saja belum siap dengan PLTN, namun PLTN memang tidak perlu, setidaknya sebelum ada teknologi yang bisa menjamin PLTN itu 100 persen aman," katanya. Warga Jepara dan Kudus bulan lalu menggelar aksi penolakan PLTN, melibatkan ribuan warga yang didukung sejumlah ilmuwan dan aktivis LSM. Penolakan serupa juga disampaikan kalangan akademisi dan mahasiswa Unika Soegijapranata Semarang, Selasa.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2007