Jakarta (ANTARA News) - Jalan untuk menjadi karikaturis tersibak ketika Geradus Mayela Sudarta harus berhadapan dengan realita yang menantang, yaitu ketika sang ayah, Hardjowijoyo, meninggal, akhir 1966, dan ia sama sekali tak punya uang. Pada saat yang menentukan, sobatnya, Yasso Winarto, memberitahu bahwa Harian Kompas sedang membutuhkan seorang ilustrator. Darta, panggilan akrab GM Sudarta, melamar dan dites langsung oleh Pemimpin Umum Kompas ketika itu, PK Oyong. Tes yang harus ia kerjakan adalah menggambar suasana penumpang yang panik karena pesawat jatuh. Meski harus melakukannya dengan mengeluarkan peluh dingin, Darta bisa menyelesaikan dan keesokan harinya ia diterima kerja dengan gaji pertama yang ia rasakan sebagai kemewahan untuk dirinya saat itu: Rp1.250!. Dengan kemampuan menggambar yang terus berkembang, demikian pula dengan wawasan sosial politiknya, Darta terus mengembangkan karikatur yang pada akhirnya, secara kronologis, menggambarkan sejarah perjalanan bangsa dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Bahkan ia bisa menciptakan sosok kartun bernama Oom Pasikom: lelaki jenaka berjas tambalan, bertopi pet kotak-kotak, berparas muka serta bermata kocak, lengkap dengan kritik dan olok-oloknya yang kerap membuat pembaca lebih memahami masalah, merasa diingatkan, dan tersenyum, walau sering senyum kecut terutama bagi yang terkena kritiknya. Catatan perjalanan bangsa yang ditorehkan Darta, kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 20 September 1945, dapat disimak dalam buku karyanya berjudul "40 Tahun Oom Pasikom Peristiwa Dalam Kartun Tahun 1967-2007" yang diluncurkan di Jakarta, Selasa (3/7). "Saya ingin berbuat sesuatu melalui kartun, harapannya tentu ada perbaikan dari sesuatu ketidakberesan yang terjadi di negeri ini," kata Darta, peraih "Gold Prize Tokyo No Kai" pada kompetisi kartun internasional di Jepang 2004. Menteri Sekretaris Negara era Orde Baru Moerdiono yang hadir dalam peluncuran buku itu mengaku dirinya terkejut ketika mendapati dirinya disindir dalam gambar kartun Oom Pasikom ketika masih menjadi menteri. "Saya kaget dan sekaligus merasa diingatkan oleh Oom Pasikom. Waktu itu Presiden meminta saya menyampaikan agar rakyat `mengencangkan ikat pinggang` karena keadaan yang sulit, tapi menurut Sudarta waktu itu kondisi rakyat sudah teramat sulit sehingga tak bisa mengencangkan ikat pinggang lagi," katanya. Moerdiono mengenang, pada saat itu sindiran kartun Darta digambarkan dengan Oom Pasikom yang memakai ikat pinggang dan mengencangkannya hingga pinggangnya mengecil dan ikat pinggang itu putus. "Sudarta cerdas dalam mengeritik tanpa membuat orang yang dikritik sakit hati," katanya. Dalam buku itu disajikan 457 gambar kartun yang disiarkan Harian Kompas. Dalam kartun pertama yang disiarkan Kompas 4 April 1967, Darta menggambarkan Jenderal Soeharto yang berpakaian militer sedang menyapu ke jurang empat orang Orde Lama dalam judul "Euforia Berdirinya Orde Baru". Sedangkan kartun ke-457 disiarkan Kompas edisi 10 Maret 2007 menggambarkan kecelakaan pesawat Garuda GA-200 Boeing 737/400 yang terbakar di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, pada 8 Maret 2007 yang menewaskan 21 dan melukai 59 penumpang dan awaknya. Musibah itu merupakan rentetan musibah moda transportasi seperti pesawat Adam Air yang hilang pada 1 Januari 2007 dalam penerbangan Surabaya-Manado, kecelakaan kapal Levina I, dan kecelakaan kereta api. Dalam karikatur tentang kecelakaan transportasi itu, Oom Pasikom berkata, "Segala kejadian pasti ada hikmahnya...!" dan dijawab oleh anaknya yang menimpali, "Kejadiannya sudah banyak ...Lah hikmahnya man..na?". Penggambaran dalam bentuk karikatur atas isu-isu besar yang menjadi sorotan publik dan menyertai dalam perjalanan bangsa ditampilkan dalam buku itu, seperti kasus-kasus korupsi, masalah pendidikan, masalah sosial, kriminal, kenaikan harga kebutuhan pokok, pergantian kepemimpinan, dan reformasi. Semua mengesankan bahwa Oom Pasikom menjadi saksi atas semua peristiwa yang disampaikan oleh harian tempat ia muncul. Buku ini bukan biografi jalan dan riwayat hidupnya sendiri, tetapi perjalanan hidup masyarakat bangsa dan negara selama empat dasawarsa. Buku "40 Tahun Oom Pasikom Peristiwa Dalam Kartun Tahun 1967-2007" terbitan Penerbit Buku Kompas ini merupakan buku keenam yang dibuat Darta setelah sebelumnya menulis "Smile in Indonesia" bersama OG Roeder (PT Gunung Agung, 1972), "Senilukis Bali dalam 3 Generasi" (PT Gramedia, 1975), "Indonesia 1967-1980 Kumpulan Kartun" (PT Gramedia, 1980), "Humor Reformasi" (Penerbit Mizan, 1995), dan "Reformasi, Kumpulan Kartun" (Penerbit Buku Kompas, 2000). Konflik Batin Anggota Dewan Riset Nasional Ninok Leksono dalam pengantar buku ini menyampaikan bahwa Darta mengakui sering mengalami konflik batin, di satu sisi semangat menyampaikan kritik sering menggebu, tetapi ia harus tahu kebijakan redaksi yang harus pula ia terima. Ketika satu kali di tahun 1970-an ia harus berargumen langsung dengan Pemimpin Redaksi Jakob Oetama, ia pun mendapat arahan yang ia ingat hingga sekarang. Saat itu Jakob mengatakan, "Tugas pers bukan untuk mengubah pendapat orang lain, bukan untuk mendobrak atau revoluasi, melainkan untuk menyampaikan misi perbaikan." Darta mengamini Jakob yang berkeyakinan bahwa misi pers lebih baik dilakukan dengan pas, walaupun harus berulang kali, terus mengetuk daripada mendobraknya sekali tetapi lalu mati. Semenjak itu pula Darta yang lima tahun berturut-turut sejak 1983 meraih penghargaan Jurnalistik Adinegoro dan trophy dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) harus menerima prinsip pembuatan karikatur di Indonesia, yaitu dengan menggunakan cara eufimisme dan tidak sarkastik. Karikatur, sebagai elemen penting jurnalisme, yang memiliki kecondongan membela pihak yang lemah dan tertindas melalui kritik terhadap praktik tidak adil dalam kehidupan politik hanya disesuaikan tata caranya, dilunakkan kadarnya. "Setidaknya dengan sikap yang diambil ini Oom Pasikom telah ikut berkontribusi dalam membuat umur Kompas panjang," kata Ninok. Ninok pun mengesankan Darta sebagai sosok yang pintar mengungkap isi hati masyarakat, karikaturis "par excellence". Sesungguhnya yang dipotret oleh kartunis Oom Pasikom ini adalah perjalanan tragedi. Tragedi perorangan di Indonesia, di dunia, dan tentetan tragedi bangsa Indonesia. Menangkap fenomena dan menuangkannya ke dalam karikatur untuk membuat semua orang mudah memahami serta kemudian tersadar memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan ketajaman dalam melihat dan kecermatan menggambarkannya ke dalam karikatur. Karikaturis tidak hanya harus mempunyai kekuatan dalam menarik garis-garis agar bisa membuat karikaturnya hidup, tetapi yang jauh lebih penting adalah setajam apa daya analisisnya terhadap fenomena yang sedang dibicarakan masyarakat. Darta termasuk orang yang bisa membuktikan hal itu, meskipun tak mustahil tokoh yang diangkatnya lebih dikenal daripada artisnya. "Kita lebih mengenal sosok Oom Pasikom ketimbang GM Sudarta sendiri," kata Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo dalam pengantar buku bersampul gambar Oom Pasikom yang sedang menunggang kuda-kudaan sambil menghunus toya tinta itu.(*)

Pewarta: Oleh Budi Setiawanto
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007