Jakarta (ANTARA News) - Juru bicara Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Fauzan Al-ansyari berpendapat, aset koruptor dan pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah bisa saja dimanfaatkan pemerintah membantu masyarakat yang terlanda bencana, termasuk korban lumpur Sidoarjo. "Bisa saja dibuat kompensasi bahwa mereka (pengemplang BLBI) disuruh membangun 1.000 rumah untuk penduduk di Sidoarjo dan nanti biaya bisa dihitung sebagai penyicilan utang mereka," katanya di Jakarta, Kamis. Dalam pandangan MMI, menurut Fauzan, pola-pola penyelesaian dengan kompensasi-kompensasi semacam itu bisa dilakukan daripada mereka yang telah merampok atau mengambil uang rakyat tersebut tidak membayar utangnya sama sekali. Selain itu, katanya, pemberian modal usaha kepada rakyat yang diambilkan dari aset-aset koruptor tersebut sebenarnya juga masih bisa menguntungkan pengusaha-pengusaha kakap itu sendiri karena uang itu adalah modal yang bergulir. Terkait dengan gagasan-gagasan semacam itu, Fauzan berpendapat, perlu pula dibuat dasar hukumnya semisal keputusan presiden agar pelaksanaan di lapangan benar-benar konkret dan tidak sekedar wacana. Keppres dinilai lebih relevan karena jika membuat UU khusus tentang hal itu akan memakan waktu lama dan energi yang juga tidak sedikit. Selain itu, persoalan tersebut juga lebih banyak menjadi domain politis. Mengenai jumlah uang rakyat yang dikorupsi melalui BLBI, Fauzan mengatakan, jumlah tersebut saat ini bisa mencapai lebih dari Rp650 triliun. "BPPN hanya berhasil mengembalikan 28 persen dari total utang BLBI dan sisanya masih sekitar Rp450 triliun dan belum termasuk bunga rekap. Jika ditambah dengan bunga rekap mulai 1997 hingga sekarang maka bunga itu sendiri sudah berjumlah Rp200 triliunan," katanya. Lebih lanjut Fauzan mengatakan dalam urusan utang piutang seperti itu sebenarnya mudah saja, yakni jika pihak yang berutang tidak membayar, maka seluruh asetnya bisa langsung disita. Namun dalam hal ini, Fauzan berpendapat, pengembalian uang rakyat itu tidak bisa berjalan mulu karena adanya KKN yang melibatkan oknum-oknum di pemerintahan. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007