Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah ormas Islam menggagas perlu dibentuknya Mahkamah Syariah untuk mempercepat penanganan berbagai kasus korupsi yang dinilai kalangan ormas tersebut masih menggunakan pola "tebang pilih". "Mahkamah Syariah ini semacam KPK, tetapi konstruksinya ad hoc dan penerapannya dalam memerangi koruptor didasarkan pada syariat Islam," kata juru bicara Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Fauzan Al-ansyari di Jakarta, Kamis. Sebelumnya, sebanyak 14 delegasi organisasi massa (ormas) Islam telah mendeklarasikan jihad melawan koruptor BLBI di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta. Deklarasi itu menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menuntaskan kasus BLBI secepatnya, khususnya terhadap konglomerat penerima BLBI terbesar, dengan cara menyita semua aset mereka. Menurut Fauzan, apa yang telah dilakukan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi masih belum maksimal karena masih adanya perilaku tebang pilih koruptor yang akan diperangi. Salah satu ukuran tidak efektifnya KPK itu, menurut Fauzan, adalah pengembalian hasil korupsi para koruptor yang masih jauh dari harapan. Dana korupsi yang berhasil diselamatkan KPK hanya sekitar Rp20 miliar sementara biaya operasional KPK adalah Rp650 miliar setiap tahunnya. Mahkamah Syariah diyakini mampu memberikan terapi kejut kepada masyarakat, karena hukum yang akan diterapkan itu adalah syariat Islam, yakni minimal potong tangan atau maksimal hukuman mati, tanpa pandang bulu siapa yang menjadi koruptor. Selain itu, mereka yang duduk dalam Mahkamah Syariah itu adalah orang-orang yang paham hukum Islam dan selama ini tegas menentang praktek KKN, semisal Habib Rizieq Shihab dan Abu Bakar Baasyir. "Kalau memang kelembagaan semacam ini terbentuk, maka pemberantasan koruptor baru bisa efektif dan tidak akan ada tebang pilih. Pemberantasan akan diutamakan untuk kasus-kasus kakap terlebih dahulu," katanya. Sementara untuk mengejar mereka yang melarikan diri ke luar negeri, dibentuk satuan-satuan tugas khusus yang akan mengejar dan menyita aset-aset koruptor dimanapun mereka berada. Fauzan mempertanyakan, apabila perang melawan teroris itu ada kesatuan Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri, maka untuk memburu koruptor tidak ada satuan tugas semacam itu. Padahal kualitas dan dampak kejahatan koruptor kakap itu jauh lebih besar dibandingkan terorisme. Fauzan mengakui bahwa gagasan hukuman yang lebih tegas itu mencontoh China yang menerapkan hukuman mati kepada pelaku korupsi dan juga menghukum keluarga koruptor yang turut menikmati hasil korupsi tersebut. "Di China, rata-rata koruptor yang dieksekusi itu 10 orang setiap hari dan dampaknya sekarang ini pertumbuhan ekonomi mereka sangat tinggi dan rakyat pun semakin sejahtera. China adalah negara komunis tetapi dalam memberantas korupsi sangat Islami karena sadar bahwa KKN itu sangat berbahaya bagi negaranya," katanya. (*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2007