Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Prof DR Muladi SH, mengatakan bahwa Indonesai saat ini memerlukan diplomasi yang tegas, agresif dan berkualitas tanpa harus terlalu bersikap sopan santun, jika karena itu justru kedaulan negara di acak-acak orang lain. "Kita perlu diplomasi yang tegas, yang agresif. Yang tegas dan yang berkualitas," kata Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang tersebut, seusai bertemu Wakil Presiden (Wapres) M. Jusuf Kalla, di Jakarta, Selasa. Menurut mantan Menteri Kehakiman di era Presiden BJ Habibie, kedatangan para tamu internasional, seperti senator dari Amerika Serikat (AS), Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) atau yang lainnya, jika memang tidak memberikan manfaat tidak perlu diterima. Maraknya aksi-aski separatisme di Indonesia saat ini, menurut Muladi, tidak tertutup kemungkinan karena adanya jaringan internasional yang mendukungnya. "Jadi, pengaruh asing seperti kedatangan utusan PBB diterima dengan baik. Kedatangan senator Amerika Serikat atau kedatangan Komisi HAM PBB itu sebenarnya harus hati-hati menerimanya. Kalau memang menimbulkan pengaruh negatif, kita harus tegas. Kita tolak saja," kata Muladi. Menurut mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) tersebut menilai, yang diperlukan bangsa Indonesia saat ini adalah diplomasi yang tegas dan tidak perlu terlalu sopan yang juga dipraktikan oleh negara-negara lain. "Diplomasi yang tegas dan tidak perlu terlalu santun. Kita bersantun-santun, tetapi kita diacak-acak," katanya. Menghadapi aksi separatisme di Indonesia, Muladi menyarankan, pemerintah harus bisa menumpas secara tegas karena sangat berbahaya bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Untuk menghadapi separatisme ada beberapa cara. Cara yang pertama harus ditumpas, kasar sekali memang. Tetapi, ditumpasnya secara yuridis," kata Muladi. Menurut dia, yang dimaksud ditumpas secara yuridis adalah melalui penegakan hukum yang tegas, sehingga aparat kepolisian harus bisa bertindak tegas. "Bukan melalui operasi militer, tetapi penegakan hukum. Penegakan hukum jangan sampai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Muladi. Selain itu, ia menilai, pemerintah juga harus memperhatikan rasa keadilan sosial di wilayah yang dilanda aksi separatisme untuk mengetahui masalah dasar yang menjadi penyebab kasus tersebut terjadi. "Penegakan hukum harus tegas, jangan ragu-ragu. Di Aceh begini, di Papua begini, di Ambon begini. Ini nanti akan menimbulkan tanda tanya, ini negeri apa? Negeri yang tidak tegas dalam penegakan hukum," kata Muladi, sambil mengepalkan tangannya. Selain kedua langkah tersebut, Muladi juga menyarankan, pentingnya pendekatan budaya kepada para tokoh-tokoh di berbagai daerah, termasuk yang dilanda kecenderungan aksi separatisme. Muladi memberikan contoh apa yang terjadi dengan RMS di Belanda yang bisa meredup dan tidak ada lagi demo di sana, karena Dubes Republik Indonesia (RI) di Belanda, Fanny Habibie, mampu melakukan pendekatan dan dialog dengan para tokoh serta "tetua-tetua" RMS. "Pendekatan budaya itu menjadi sangat penting. Jadi, seperti adanya Dewan Adat Papua, kita dekati. Bagaimana mengajak para tokoh-tokoh Dewan Adat itu bisa berpikir jauh ke depan," kata Muladi Untuk itu semuanya, ia mengemukakan, memang harus melibatkan para pakar hukum dan juga pakar sosial, dan secara preventif juga harus dihindari terjadinya infiltrasi-infiltrasi asing ke wilayah-wilayah bergolak tersebut. "Di wilayah-wilayah sekitar Aceh harus diperkuat secara militer. Seperti di Sabang, Medan dan sebagainya disiapkan pesawat tempur dan sebagainya," kata Muladi. Hal yang sama juga harus dilakukan di wilayah Papua. Pasukan militer yang kuat harus di gelar dengan standar tertentu. "Itu wajib dilakukan. Kalau RMS, menurut saya, tidak perlu dikawatirkan, tetapi untuk Papua dan Aceh perlu khawatir," kata Muladi. Menurut Muladi, untuk Papua dan Aceh akan sangat berbahaya jika tidak segera diselesaikan. Dalam pandangannya, gerakan-gerakan separatisme tersebut sangat berbahaya jika memiliki jaringan internasional, memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal dan dana yang kuat, serta adanya organisasi yang hirarkis secara baik. "Di Papua sangat berbahaya karena memiliki sumber daya alam yang baik, SDM cukup memadai dan adanya dorongan-dorongan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional, seperti Australia," demikian Muladi. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007