Padang (ANTARA News) - Populasi Siamang (Bilou/Hylobates Klossi) di hutan Kepulauan Mentawai, Sumbar, kini jumlahnya terus menurun dan terancam punah, karena habitatanya tertangga akibat aksi penebangan liar dan pembukaan lahan kebun baru serta perburuan liar. "Spesies langka Hylobates Klossi itu, terancam punah dan makin sulit ditemukan, juga akibat tingginya minat pedagang mengekspornya," kata Manajer Umum Yayasan Kalaweit Sumatera Asveri Ardiyanto SSi, kepada ANTARA News di Padang, Kamis. Populasi satwa langka jenis Siamang di Pulau Sumatera yang makin terancam punah, jenis Siamang Mentawai, selain dipelihara untuk kesenangan dan dagingnya juga dikonsumsi seperti dilakukan masyarakat pada di kepulauan di tengah Samudera Hindia itu. Satwa dilindungi itu, sampai kini masih terdaftar dalam Apendix 1 mengatur tentang satwa yang dilarang diperdagangkan dan dipelihara dalam keadaan hidup atau diawetkan. Larangan yang sama di Indonesia juga diamanatkan dalam UU No.5 tahun 1990, tentang konservasi hewan langka. Bagi pelanggarnya diancaman 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Menurut Asveri, jejak perdagangan satwa langka jenis Siamang di Indonesia sulit dilacak, karena cara perdagangannya cukup rapi dan sembunyi-sembunyi. "Biasanya Siamang Sumatera termasuk Bilou dibawa pedagang lewat Lampung, selanjutnya baru dikirim ke Jakarta melalui jalan laut," katanya dan menambahkan, Siamang Sumatara (bilou) diekspor ke Singapaura, Eropa. Terbatasnya sarana dan prasarana serta tenaga pemantau perdagangan liar satwa langka itu, satu kendala melindunginya serta kurang sosialisasi pentingnya hewan itu dikonservasi. Siamang Sumatera penting dikonservasi untuk mempertahankan fungsi hutan, sebab siamang berperan membantu regenerasi hutan dengan cara mendistribusikan biji-bijian Perburuan Owa dan Siamang Sumatera cukup marak, namun dikembalikan secara suka rela baru 125 ekor (tahun 2003). (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2007