Sasebo/Tokyo (ANTARA News) - Jepang, Sabtu, untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II, mengerahkan satuan kapal perang Pasukan Bela Diri Maritim Jepang. Pengerahan pasukan di kepulauan Jepang ini di sepanjang tepi Laut Cina Timur, yang ditakutkan Tokyo rentan terhadap serangan China.

Dalam upacara di pangkalan militer dekat Sasebo di pulau barat daya, Pulau Kyushu, sekitar 1.500 anggota Brigade Tanggap Cepat Amfibi (ARDB), yang mengenakan samaran, berbaris di luar di tengah cuaca dingin berangin.

"Mengingat keadaan pertahanan dan keamanan semakin sulit di sekitar Jepang, pertahanan pada kepulauan kami menjadi mandat penting," kata Wakil Menteri Pertahanan Jepang, Tomohiro Yamamoto, dalam pidatonya.

Pasukan itu menyimulasikan operasi militer merebut kembali pulau terpencil selama 20 menit dari kekuatan musuh.

Pembentukan brigade laut Jepang dianggap kontroversial, karena unit amfibi ini dapat memproyeksikan kekuatan militer dan kritikus memperingatkan hal ini dapat digunakan untuk mengancam negara tetangga Jepang. Dalam konstitusi Jepang pasca-Perang Dunia Kedua, Jepang tidak memiliki angkatan perang.

Brigade tersebut merupakan komponen terbaru dari angkatan laut yang sedang berkembang, mencakup kapal induk helikopter, kapal amfibi, pesawat terbang militer tiltrotor Bell-Boeing V-22 Osprey pengangkut pasukan dan kendaraan serbu amfibi, yang dimaksudkan untuk menghalangi China saat mereka mendorong akses yang lebih mudah ke Pasifik Barat.

China, yang mendominasi Laut China Selatan, melampaui Jepang dalam hal pembelanjaan pertahanan. Pada 2018, Beijing, yang mengklaim sekelompok pulau tak berpenghuni di Laut Cina Timur yang dikendalikan Tokyo, akan membelanjakan 1,11 triliun yuan (176,56 miliar dolar Amerika Serikat) untuk angkatan bersenjatanya, tiga kali lipat lebih banyak dari Jepang.

Aktivasi dari 2.100 ARDB yang kuat membawa Jepang selangkah lebih dekat untuk menciptakan kekuatan yang mirip dengan Unit Ekspedisi Laut Amerika Serikat (MEU), yang mampu merencanakan dan melaksanakan operasi di laut yang jauh dari pangkalannya.

"Mereka telah menunjukkan kemampuan untuk menyusun MEU untuk saat ini. Tetapi untuk memiliki kemampuan MEU yang solid dan kokoh membutuhkan upaya bersama," menurut Grant Newsham, seorang peneliti di Forum Jepang untuk Studi Strategis.

"Jika Jepang berpikir hal tersebut, dalam satu tahun atau satu setengah tahun mereka dapat memiliki kemampuan yang layak," jelasnya.

Newsham, yang membantu melatih pasukan amfibi pertama Jepang sebagai perwira penghubung kolonel Marinir Amerika Serikat yang ditugaskan ke Pasukan Bela Diri Darat (GSDF) Jepang, mengatakan, Jepang masih membutuhkan kapal markas amfibi Angkatan Laut Gabungan untuk mengoordinasikan operasi serta lebih banyak kapal amfibi untuk membawa pasukan dan peralatan.

Perencana militer Jepang telah mempertimbangkan beberapa tambahan tersebut. Angkatan Pertahanan Diri Udara (ASDF) ingin mendapatkan F-35B Lighting II untuk beroperasi dari kapal induk Izumo dan Ise, atau dari pulau-pulau di sepanjang Laut Cina Timur, menurut sumber.

Amerika Serikat pada bulan lalu mengerahkan F-35B Lighting II untuk operasi pertama mereka di atas kapal penyerangan amfibi USS Wasp, yang berbasis di Sasebo. Pelabuhan di Kyushu juga merupakan rumah bagi kapal induk Jepang, Ise, dan dekat dengan basis ARDB.

Secara terpisah, GSDF dapat memperoleh kapal amfibi kecil hingga sepanjang 100 meter panjang untuk mengangkut pasukan dan peralatan antar pulau-pulau dan dari kapal ke pantai, menurut dua sumber yang akrab dengan diskusi itu. Pasukan darat Jepang belum mengoperasikan kapal mereka sendiri sejak Perang Dunia II.

"Idenya adalah membawa pasukan dan perlengkapan di kapal besar ke pulau utama Okinawa dan kemudian menyebarkannya ke pulau lain dengan kapal lebih kecil," kata sumber, yang meminta tidak dikenali karena tidak berwenang berbicara dengan media.

Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2018