Kupang (ANTARA News) - Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Drs Didi Widayadi, MBA, mengatakan tidak semua temuan kerugian negara dapat diproses hukum, kecuali yang memiliki motif perbuatan melawan hukum. "Harus ada `check and balance` dalam mencermati temuan kerugian negara karena tidak semua temuan kerugian negara mengarah kepada pro-justicia," kata Widayadi, di Kupang, Senin, usai penandatangan nota kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah Provinsi NTT. MoU itu memuat upaya peningkatan SDM di lingkup Pemerintah Provinsi NTT dalam rangka pengelolaan keuangan negara. Ia mengatakan, setiap kerugian negara yang ditemukan auditor dapat dikategori pelanggaran administrasi atau perbuatan melawan hukum, tergantung subtansi persoalannya. Temuan dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi jika kerugian negara itu dilatari oleh pengelolaan keuangan yang tidak ditunjang kemampuan akuntasi yang memadai, atau kesalahan manajemen karena pejabat yang memiliki otoritas keuangan itu tidak mampu. "Solusinya tentu pejabat yang bersangkutan diharuskan mengganti kerugian negara itu dan jika dianggap tidak layak maka pimpinan dapat mengganti pejabat tersebut. Ini ranah administrasi karena kerugian negara murni tanpa motivasi tertentu," ujarnya. Menurutnya, kerugian negara yang dilatari motivasi tertentu seperti melakukan penggembungan harga (mark up) atau proyek fiktif dengan tujuan memperkaya diri atau orang lain, layak diproses hukum agar ada efek jera. BPKP berkewangan melakukan pemeriksaan dan memberikan pendampingan kepada aparat pengawas internal seperti Itjen dan banwasda untuk mencermati persoalan keuangan negara itu. "BPKP selaku pengawas internal akan menindaklanjuti temuan BPK atau pengawas eksternal lainnya dalam bentuk audit investigasi kemudian menentukan kasus itu mengarah kepada pro-justicia atau non pro-justicia. Tidak semua temuan BPK dapat dikatakan tindak pidana korupsi, temuan itu baru bersifat bukti petunjuk," ujarnya. Widayadi menambahkan, untuk mengoptimalisasi fungsi pengawasan maka BPKP dan aparat pengawas internal pemerintah lainnya dapat melaksanakan peran "check and balance" terhadap pengawasan eksternal pemerintah seperti BPK dan DPR serta Criminal Justice System (CJS) seperti polisi dan kejaksaan. Tidak boleh terjadi dikotomi antara pengawas internal dan eksternal pemerintah atau pandangan bahwa BPK lebih kuat dari BPKP, tetapi harus ada `check and balance` dalam melaksanakan fungsi pengawasan. "Kalau ada pihak yang mengatakan BPKP selaku pengawas internal pemerintah dibubarkan saja, itu suatu kecelakaan karena satu komunitas yang terkecil sekalipun harus mempunyai `internal control` agar terjadi keseimbangan," ujarnya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2007